Chapter 21
Pegunungan bernama Bercht terletak di bagian utara benua, sebuah tempat yang nggak masuk wilayah kekaisaran atau kerajaan mana pun. Tingginya mencapai 3.500 meter, dan ada sekitar 1.000 orang yang tinggal di antara puncak-puncaknya. Tempat ini juga jadi rumah bagi sekelompok penyihir yang disebut para Elders.
Bercht adalah semacam badan kolektif dari sekolah-sekolah sihir yang tersebar di seluruh benua dan institusi yang menentukan arah gerak sekolah-sekolah itu. Mereka mengikuti ritual Pulau Kekayaan Penyihir yang sudah mereka adaptasi, tapi pertemuan puncak (summit) jarang banget terjadi, mungkin cuma sekali dalam beberapa dekade.
“…Pertemuan puncak…”
Itu adalah suatu hari di bulan April ketika para Elders merasa perlu mengadakan pertemuan puncak.
“Harus segera diadakan!”
Para penyihir buru-buru berkumpul di Aula Elders, yang terletak di puncak pegunungan yang diselimuti kegelapan abadi.
“Iblis muncul di Gunung Kegelapan. Kita nggak boleh lupa kalau sihir awalnya dibentuk sebagai seni gaib untuk menghukum iblis.”
Meskipun mereka biasanya menghindari urusan duniawi, mereka terpaksa bikin pengecualian yang ketat buat menghadapi ancaman yang sekarang mengintai mereka.
“Perintahnya sudah ditulis?”
“Kita agak repot soal Shinjin, tapi kehadiran Dua Belas Keluarga sudah dipastikan.”
Dua Belas Keluarga, yang termasuk Eliade, Yukline, Bran, Beorad, Riwaynde, dan anggota terbarunya, Shinjin, yang dikenal karena pencapaian mereka selama dekade terakhir, dipanggil sesuai tradisi. Bisa ikut konferensi Bercht aja udah jadi kehormatan besar bagi keluarga mana pun. Makanya, nggak ada yang berani nolak panggilan itu.
“Keluarga Eliade dan Yukline dulu pernah bertarung sengit.” Pengambil keputusan Bercht, Dzekdan, menyuarakan keprihatinannya.
“Itu kan sudah lama sekali. Mereka juga sudah mencapai semacam kesepakatan.”
“Itu cuma di permukaan aja.”
Dzekdan menghela napas dalam-dalam. “Wajar sih, mengingat kekuatan keluarga mereka. Tapi, Glitheon jadi lebih berbahaya.”
“Nggak kok, arus kemarahannya sudah lebih tenang.”
Glitheon dari Eliade dulunya bagaikan api yang nggak terkendali. Kobaran ambisinya seolah punya kebutuhan purba untuk terus membakar selamanya. Dzekdan masih belum lupa gimana kelakuan Glitheon, yang nggak mau melepaskan khayalannya yang sudah mendarah daging.
“Bukankah dia punya anak yang lebih baik darinya? Dia nggak mewarisi ambisi ayahnya yang tanpa dasar itu, dan dia pasti nggak akan melakukan apa pun yang membahayakan dirinya.”
Itu juga benar. Bara api Glitheon, yang seolah siap melahap dunia, justru diberkahi keturunan yang jauh lebih cemerlang darinya. Kalau Glitheon adalah api, maka Sylvia adalah matahari.
“Kau tahu apa yang harus dilakukan. Ngomong-ngomong, para penyihir Shinjin bertanya soal para ular berbisa dari Pulau Kekayaan Penyihir.”
Kedua belas Elders menunduk pada perkataan Dzekdan.
“Ya. Begitu Pulau itu memilih delapan keluarga, aku akan mengirimimu pesan.”
Setelah keputusan hari itu, kehendak Bercht dikirimkan ke menara Kekaisaran dan keluarga-keluarga penyihir. Pada saat yang sama, semua penyihir tingkat tinggi di seluruh benua akan memulai perjalanan mereka ke Bercht.
Sebagai tindakan pencegahan, pesan mereka selalu menyertakan satu peringatan.
[Pengingat: Bercht tidak bertanggung jawab atas keselamatan para penyihir. Hukumnya hanyalah sihir. Oleh karena itu, kematian di tengah pegunungan secara alami akan dianggap sebagai akibat sihir.]
Alasan di balik peringatan itu akan segera terungkap.
Sekitar sepuluh hari kemudian, barang-barang berhargaku membanjiri Routen. Sesuai saran Ganesha, aku membeli dua brankas sihir kualitas premium dan menyimpannya di lokasi terpisah: satu di bangunan utama Kediaman Yukline dan satu lagi di gedung yang benar-benar terpisah. Aku juga memanggil Profesor Relin dari Menara Universitas dan para penyihir dari Departemen Keamanan untuk memperbarui pertahanan kediaman.
Dengan rumahku yang sekali lagi siap menghadapi invasi, nggak ada barang milikku yang berisiko dicuri sekarang.
Yang bisa aku pakai sendiri…
Dari sekian banyak barang, ada dua artefak yang nggak langsung masuk brankas. Keduanya adalah Relik, jadi penyihir mana pun pasti pengen punya.
——— [Cincin Ruperin] ———
◆Rating: Relik
◆Deskripsi: Sebuah peralatan yang dibuat oleh salah satu dari sedikit pengrajin ahli di generasinya, Ruperin. Dia telah menuangkan darah, keringat, dan air matanya ke dalamnya.
◆Kategori: Peralatan ⊃ Artefak ⊃ Aksesoris
◆Efek:
– Mengatur sirkulasi darah untuk melancarkan aliran darah.
– Meningkatkan kecepatan pemulihan Mana.
– Sedikit memperkuat kekuatan sihir.
Sebuah cincin yang membantu sirkulasi darah dan pemulihan Mana.
——— [Kalung Relik Kuno] ———
◆Rating: Relik
◆Deskripsi: Kalung Relik bertuliskan rune kuno
◆Kategori: Peralatan ⊃ Artefak ⊃ Aksesoris
◆Efek:
– Menyimpan hingga [300] Mana.
Sebuah kalung yang dirancang untuk menyimpan Mana, mirip kayak power bank. Setelah menyerap [300] Mana dari tubuhku, kalung ini bisa dipakai sebagai sumber Mana portabel. Memang cuma 300, tapi jumlah Mana itu stat yang penting banget di game ini. Nggak banyak juga item kayak gini.
Karena keterbatasan kekuatan sihirku, aku terpaksa mengandalkan skill [Iron Man]-ku. Aku bahkan nggak bisa bermimpi jadi ksatria. Mulai sekarang, aku memutuskan untuk memakai kedua aksesoris ini sebagai bagian dari perlengkapanku. Berdasarkan [Indra Estetika] mereka aja, keduanya kelihatan mewah banget.
Tapi, item terpenting yang kubeli adalah…
Aku menghela napas saat melihat item yang dimaksud. Itu adalah logam misterius dengan pendar putih dan biru. Kelihatannya nggak menarik karena belum dimurnikan, tapi keberadaan Snowflake Obsidian itu sendiri nggak ada bedanya sama sihir.
Nggak bergerak.
Harganya nggak kurang dari 40 juta Elnes, tapi seberapa kuat pun aku pakai Psikokinesis padanya, logam itu nggak bergeming sedikit pun. Bukan karena belum dimurnikan, terlalu besar, atau karena aku kekurangan sihir. Masalahnya adalah mantra di dalamnya menolak sihirku.
Dalam kondisi sekarang, bahkan setelah dimurnikan, dilebur, dan ditempa, aku tetap nggak akan bisa mengendalikannya meskipun aku menghabiskan seumur hidupku untuk mencoba.
Apa yang harus kulakukan…?
Snowflake Obsidian adalah item yang terlalu mahal untuk sekadar jadi pajangan atau dekorasi, tapi aku nggak bisa memikirkan cara untuk membangunkannya. Saat aku menatapnya sambil berpikir keras, aku tiba-tiba teringat satu baris dari salah satu buku di perpustakaan.
“Pedang perlu dijinakkan, itulah sebabnya ksatria harus terlebih dahulu mengayunkan pedang mereka sebelum bisa menggunakan potensi penuhnya. Proses ini disebut komuni.”
Komuni.
Aku kan penyihir. Aku nggak pernah belajar cara menggunakan pedang. Namun, kalau menjinakkan pedang berarti memahami pedang itu sendiri, maka…
Aku menatap pedang itu dengan [Pemahaman]-ku dan bahkan meletakkan tanganku di atasnya, jaga-jaga kalau mataku saja nggak cukup.
Panas dan dingin mengalir bersamaan di tubuhku. Dua kualitas yang nggak mungkin ada bersamaan secara praktis, justru menggelitik telapak tanganku bersamaan. Tapi yang kuinginkan bukan kualitas kontradiktifnya, struktur atomnya, atau nilainya. Yang kuinginkan adalah pemahaman esensial dan metafisik tentangnya, jauh lebih penting dari gabungan semua itu. Aku butuh wawasan yang melampaui rasionalitas dari keadaan trans komuni ini…
…!
Aku merasakan sakit yang membakar melewati mataku, seperti sengatan listrik menembusnya.
Ziiiiing—
Snowflake Obsidian menghanguskan tanganku, tapi aku terus menatapnya sambil mencengkeram salah satu mataku. Aku nggak menemukan perubahan apa pun. Tapi, aku merasakannya dengan tubuhku. Saat aku memeriksanya dengan [Vision]-ku, aku jadi lebih yakin.
[Pemahaman: 0,1%]
[Mana: 1.357 / 3.357 (+300)]
0,1% setelah menghabiskan dua ribu Mana. Mengingat jumlah Mana harianku yang lebih dari sepuluh ribu, dan kecepatan pemulihanku, butuh setidaknya setahun untuk memahami logam ini sepenuhnya. Mungkin bakal lebih mudah dipakai kalau sudah mencapai 40% atau 50% pemahaman, tapi sampai saat itu, baja adalah pilihan terbaik. Apa rutinitasku baru saja nambah satu tugas lagi?
Aku memasukkan Snowflake Obsidian ke dalam brankas dengan senyum pahit. Lalu, aku memakai Cincin Ruperin dan Kalung Relik Kuno, dan langsung menyadari perubahan yang mencolok.
“Hmm?”
Aura dan warna aksesoris yang menyentuh tubuhku berubah total menjadi gaya vintage.
—— [Indra Estetika] ——
◆Rating: Unik
◆Deskripsi:
- Indra jenius dalam mengklasifikasikan penampilan.
- Berpotensi memahami semua pengetahuan artistik dan merespons karya seni berkualitas tinggi.
Apa perubahan itu efek dari deskripsi kedua [Indra Estetika]? Kupikir itu atribut yang nggak berguna banget sampai-sampai cuma [Prodigy] yang bisa ngalahin ketidakbergunaannya. Memang nggak praktis, tapi punya juga nggak buruk.
Aku memakai jaketku dan bersiap berangkat kerja.
Aku tetap setia pada rutinitas harianku sebagai profesor. Pertama, begitu tiba di tempat kerja, aku menganalisis penelitianku di lab, membiarkan efek samping latihan pagi mereda. Siang hari, aku pergi naik mobil untuk makan di restoran. Setelah makan siang, aku kembali ke menara dan bersiap untuk kelas jam ke-4. Aku lalu memikirkan soal mengganti buku silabus Allen, dan tahu-tahu sudah jam 5 sore.
“Pastikan kalian mengingat teori saat menjawab ujian tengah semester nanti.”
Aku duduk di kursi dan mengangguk. Hari ini, kerangka dan susunan ujian serta topik proyek dan laporan mahasiswa telah final. Tingkat kesulitan ujiannya brutal. Mungkin terlalu brutal malah.
“Ehem.”
Ini menyenangkan. Ngerjain mahasiswa ternyata seru juga. Membayangkan para penyihir yang akan menderita karena soal-soal yang akan kuberikan, aku merasa senang tanpa alasan yang jelas, dan ketika aku melihat buku catatan di mejaku, kesenanganku berubah menjadi perasaan aneh.
[Buku Agenda]
Jadwal Deculein, jadwalku. Aku menghela napas sambil menyibakkan rambutku ke belakang. Sejak minggu lalu, ada satu acara yang menggangguku.
[9 April]
[Peringatan Kematian]
Itu bukan peringatan kematian orang tua Deculein, tapi tunangan Deculein, atau lebih tepatnya, mantan tunangannya, Yuli. Aku nggak panik karena kejadian itu sudah terselesaikan. Beberapa waktu lalu, saat aku pertama kali bertemu Ganesha di ‘Pesta Bunga Tahun Baru’, dia dengan jelas bilang, “Apa karena Anda baru saja bertunangan?”
Deculein punya mantan tunangan, dan aku tahu betul situasi di luar game ini. Selama liburan larut malam di dunia yang kini terasa begitu jauh, saat semua karyawan perusahaan sedang lembur gila-gilaan, soal easter egg diangkat dan dibahas. Terinspirasi dari situ, Yoo Ara lalu menambahkan sedikit latar belakang cerita untuk Deculein, mengatakan kalau dia punya easter egg yang brilian, yang ternyata adalah tunangan pertamanya.
Tiga hari lagi…
Mungkin itulah satu-satunya jejak yang mengingatkanku padanya di dunia ini, lelucon-lelucon jahil yang dia tinggalkan sebagai easter egg*. Hal-hal yang membuatnya tersenyum begitu cerah.*
Saat aku mengenangnya…
Tok tok—
Membuka pintu menggunakan Psikokinesis, terlihat Allen berdiri di baliknya.
“Profesor, Count Freyden ada di sini— ugh—”
Saat memperkenalkan tamu, dia didorong ke samping saat seorang pria besar masuk dari belakangnya.
“Oh. Maaf ya. Ukuranku ini kelewat besar sih, sayangnya. Kamu nggak apa-apa?”
“Ah, ya. Ya. Saya baik-baik saja…” Allen membungkuk dan keluar sementara Zeit menatapnya lembut dari ujung kepala sampai ujung kaki.
“Itu bawahanmu?” tanyaku mengangguk.
“Dia Asisten Profesorku.”
“Hmm. Begitu ya? Dia kelihatannya… nggak jelas gitu,” gumam Zeit aneh sambil melipat tangan.
Aku melihat jam: 5:15 sore. Masih terlalu awal untuk janji pertemuan jam 7 malam kami. Tapi Zeit tersenyum cerah.
“Ah! Kita kan mau ke tempat terkenal, tahu nggak. Aku jadi nggak sabar. Aku juga sudah pengen naik mobilmu.”
Sudah kuduga. Pria ini pengen mobil sebagai hadiah pernikahan.
Salah satu restoran paling populer di Kekaisaran, Pon Meschule. Saking terkenalnya, bahkan bangsawan tingkat tinggi pun susah dapat reservasi. Namun, kami berhasil mendapatkan ruang pribadi di lantai dua.
“Ah— uh—” Julie terus menggeliat nggak nyaman. Dia seperti bayi, kadang-kadang mengoceh nggak jelas. “Ugh—”
Baginya, yang sebelumnya hanya memakai zirah, gaun terasa ketat di otot-ototnya dan lebih mengekang daripada borgol. Aksesoris yang harus dipakainya juga terus menggores tubuhnya.
“…Kamu nggak apa-apa?” Josephine memperhatikan adiknya yang kesusahan itu seperti ulat yang lucu.
“Ya. Aku nggak apa-apa.” Julie tertawa getir.
“Kamu nggak kelihatan baik-baik aja.”
“Aku baik-baik saja.”
Josephine cemberut dengan tangan di dagu dan mengangkat sebelah alisnya. “…Pembohong.”
“Aku bisa menahannya.”
“Aku nggak ngomongin gaunmu atau pertemuan ini. Maksudku pernikahannya.”
“Apa?”
“Kamu bilang kamu nggak mau menikah.”
Pertanyaannya yang blak-blakan membuatnya gelagapan mencari kata-kata. “…Aku baik-baik saja.” Dia menggelengkan kepala dengan ekspresi muram.
Josephine tertawa. “Kalau kamu sebenci itu, mau kuajari cara buat menghindarinya?”
“Maksudmu apa?”
Dia mendekatkan bibirnya ke telinga Julie, yang dengan polosnya memiringkan kepala. Dia lalu berbisik dengan suara sangat pelan.
“Gimana kalau kamu menikahinya lalu membunuhnya? Kalau kamu lakukan itu, keluarga Yukline juga bakal jadi milikmu.”
Mendengarnya membuat Julie merasa seperti lidah ular yang menjilat-jilat di telinganya, menyebabkan bulu kuduknya berdiri. Mata Julie terbelalak kaget saat dia memelototi kakaknya, wajahnya memerah. Itu adalah saran konyol yang bahkan belum pernah terpikirkan olehnya, apalagi berani mencobanya.
“Kakak! Kok bisa-bisanya bilang begitu—”
“Bercanda kok. Bercanda.” Josephine terkekeh begitu keras sampai harus meletakkan tangannya di bahu Julie untuk menahan tawa.
“Ada hal-hal yang nggak seharusnya dijadikan lelucon!” Julie menepis tangannya dan, merasa pembalasan itu kurang, mencoba memukul Josephine dengan tinjunya. Tapi, dia nggak berani memukulnya, jadi dia malah menggapai-gapai nggak jelas.
“Aku cuma menggoda adik kecilku yang berharga ini kok, soalnya sayang banget menyia-nyiakan hidupmu untuk pria seperti itu. Jangan marah-marah gitu dong.”
“Diam! Siapa juga yang bercanda soal hal seserius itu? Itu sih lebih mirip sumpah serapah!”
“Hmm~. Aku barusan melakukannya.”
“Kamu! Serius deh! Kamu pikir ini lucu?!”
Klang! Klang!
Karena marah, Julie menggebrak meja sampai wajahnya makin memerah, membuat Josephine berulang kali minta maaf.
Tak lama kemudian, pintu ruang pribadi terbuka. Aroma tenang langsung menyebar di udara, aroma yang begitu mewah sampai langsung mengubah atmosfer ruangan. Setelah itu, pria yang dimaksud muncul.
Ketika Josephine melihatnya, dia menghela napas tertahan, suara itu keluar tanpa sadar karena terpukau. Penampilan dan gayanya sangat mencolok hari ini.
“Anda pasti jadi pusat perhatian sepanjang jalan ke sini,” sapanya sambil tersenyum, tapi Deculein tidak menjawab. Dia hanya menatap sekilas kedua wanita itu, mengangguk, lalu duduk.
Zeit, orang yang mengatur semua ini, menyelinap masuk lewat pintu sesudahnya. Dia memiringkan kepala saat melihat Josephine. “Hmm. Kamu di sini juga?”
“Aku yang mendandani adikku, dan kami datang bareng. Gimana menurutmu?”
Mata Zeit menunjukkan keterkejutan luar biasa saat melihat gaun Julie. Julie sangat menyukai zirahnya sampai-sampai ini pertama kalinya Zeit melihatnya memakai gaun dalam sekitar sepuluh tahun.
“Ah, pantas saja kamu kelihatan cantik sekali. Bagaimana menurutmu?” Zeit menatap Deculein dengan senyum bangga. Dengan bantuan Josephine, kecantikan Julie memang berada di level yang berbeda. “Julie memang adikku, tapi kalaupun bukan, aku tetap menganggapnya cantik. Sementara itu, kamu sama seperti biasanya, tapi entah kenapa hari ini kelihatan lebih keren.”
Deculein menatap Julie tanpa berkata apa-apa, dan Julie balas menatapnya. Julie tidak yakin apakah itu pertarungan harga diri atau bukan, tapi tak satu pun dari mereka yang memalingkan muka.
Di tengah tatapan itu, Zeit menoleh ke samping dan tertawa pelan sendiri.
Next
Tinggalkan Balasan