bacanoveltranslate.com

Membawa Cerita Lintas Bahasa

Penulis: ES_

  • Villain Want to Live – Chapter 121

    Chapter 121: Sidang (1)

    Kegelapan malam pecah persis sebelum meleleh, dan cahaya biru pagi buta merembes masuk. Ketua Adrienne narik napas. “Fiuuh…” Dokumen-dokumen yang kesebar di mejanya itu tesis Deculein sama kesepakatan dari empat pilar dunia sihir. Dia manyun sambil megang salah satu dokumen.

    [Bercht, Pulau Terapung, Gunung Berapi, dan Meja Bundar, yang ngebentuk keseimbangan dunia sihir, udah nyampe kesepakatan umum buat pertama kalinya sejak Demakan.]

    Gunung Berapi itu nama kehormatan buat para Abu. Nggak peduli seberapa mereka direndahin dengan dipanggil Abu, bener kalo kekuatan mereka mainin peran besar di dunia sihir, jadi pendapat mereka diakui penting buat acara besar ini.

    […Kemajuan sihir yang ditunjukin Adrienne Spartinza. Pencarian mereka akan kebenaran, ketekunan mereka dalam penyangkalan diri dengan jalanin cara lama, ngehormatin dan kagumin pencapaian sihir mereka yang dicapai lewat kerja keras…]

    Dia baca sekilas bagian-bagian yang penuh retorika terus baca paragraf terakhir. Dia baca kesimpulan yang dicapai seluruh dunia sihir soal penyihir Adrienne.

    [Adrienne Spartinza diakui sebagai Archmage kedua yang ngelampauin alam sihir ini dan bakal tetep abadi lewatin sejarah benua. Upacara kesetaraan di… ]

    Archmage peringkat Abadi. Setelah Demakan, Archmage kedua kayak gitu.

    “…Adrienne II?” Adrienne manggil anak anjing di sebelahnya.

    Guk! Guk! Dia gendong si anak anjing pas dia lari cepet nyamperin. Dia nepuk-nepuk punggungnya sambil senyum kecil.

    “Sekarang… aku resmi bukan manusia lagi.” Adrienne diakui bukan cuma sama Bercht dan Pulau Terapung tapi juga sama kelompok-kelompok super tertutup kayak Abu sama Meja Bundar. Maksudnya, bakat sihir murni, pencapaian, sama kekuatannya aja udah ngebawa ke kesepakatan umum yang dicapai seluruh dunia sihir. Archmage abadi itu, emang sifatnya, makhluk yang luar biasa hebat.

    “Orang-orang bakal segera dateng. Mereka bakal lempar banyak pertanyaan ke aku.”

    Guk! Guk!

    “…Aku harus segera pergi. Aku nggak bisa tinggal lama.” Dunia ini seru banget. Deculein. Julie. Decalane. Louina. Glitheon. Sierra. Cynthia. Idnik. Rohakan. Zeit. Ihelm. Kreto. Ganesha… Dia inget banyak nama sama muka yang pernah ngehibur dia.

    “…” Adrienne nyamperin jendela terus natap ke bawah ke tanah di sekitar menara. Belum jam enam pagi, tapi wartawan udah pada ngumpul.

    “…Kalau gitu!” Dia senyum cerah ke Adrienne II di pelukannya. “Aku bakal cepet balik kok, jadi tungguin aku ya~!”

    Guk! Guk! Dia ngejawab cerah.


    Pagi buta. Orang tak terhitung jumlahnya dari seluruh benua ngumpul di menara. Sementara wartawan ada di barisan depan, mahasiswa, penyihir, sama ksatria dari Universitas Kekaisaran semua nontonin pemandangan itu dari deket dan jauh.

    Apa masa jabatan Anda berakhir tahun ini?!

    “Iya! Kupikir bakal selesai musim dingin atau mungkin musim semi; terus aku bakal serahin!” Satu-satunya fokus dari banyak kamera itu si ketua, Adrienne. Secara resmi nglaim peringkat Abadi, dia sekarang dikubur di antara orang-orang. Tentu aja, itu prosedur yang diharapkan semua orang di benua, tapi pengalaman nyaksiin momen bersejarah itu pake mata kepala sendiri itu langka.

    Kami tahu ada dua kandidat buat ketua berikutnya. Bisa ceritain prosesnya?

    “Nggak banyak kok! Aku cuma bakal pilih yang lebih baik dari dua itu!”

    Solda Epherene nontonin pemandangan itu dari lantai tiga menara. Dia bisa liat lebih jelas dari dalem daripada luar, yang rame sama kerumunan orang, dan dia bisa denger wawancaranya.

    Makalah Mage Ihelm yang baru dipublikasiin ‘Investigasi Diam Sihir Bantu dan Jalur Reformasinya’ jadi topik diskusi di dunia sihir tiap hari. Apa pencapaian individu kayak gitu bakal direfleksiin dalem pemilihan kandidat berikutnya?

    “Oh! Iya, tentu aja! Aku baca tesis Ihelm itu juga! Bagus banget!” ‘Aku juga baca makalah itu-,’ ‘Aku suka-.* Tiap kali dia ngomong sesuatu, apa aja, para wartawan sibuk nulis soal itu.

    Profesor Deculein juga tesisnya bakal segera dipublikasiin!

    “Oh~, iya! Apa?! Profesor Deculein udah ngumpulinnya!”

    “…!” Saat itu, telinga Epherene naik. Dia ngeremes cangkir kertas yang dia pegang, untungnya baru aja selesai diminum.

    “Dia pastiin daftar sebagai penulis!” Adrienne nahan ketawa pas ngomong gitu. Cara dia ngomongnya narik telinganya, bikin Epherene ngerasa aneh.

    Gimana itu?

    “Yah! Aku nggak terlalu ngerti sih! Dampaknya bakal gede, tapi itu cuma teori!”

    Maksud Anda itu nggak terlalu bagus…?

    “Nggak! Sama sekali bukan! Ihelm ngerjainnya solid, dan Deculein….” Adrienne mikir bentar seolah milih kata-kata yang pas sebelum ngangguk.

    “Oh, potensinya gede banget! Masih teori sih, tapi kalo teori ini beneran, sihirnya bisa diterapin!”

    Klik-klik-! Klik-klik-! Kilatan terus-menerus dari kamera nyinarin kerumunan. Buat Epherene, yang fokusin semua perhatiannya ke mulut Adrienne, suara tak terhitung jumlahnya dari para wartawan cuma gangguan.

    “Kalo itu kejadian!” Adrienne ngangkat tangannya. Saat itu, waktu kayaknya berhenti pas semua orang fokus ke dia. Sambil nikmatin tatapan tak terhitung jumlahnya, Adrienne diem bentar lagi buat nambah drama sebelum lanjut.

    “Kupikir Profesor Deculein bakal jadi Tetua.”

    “?!” Tetua. Mata Epherene ngancem mau copot dari tempatnya. Para penyihir di menara, yang nontonin wawancara bareng dia, nunjukkin reaksi mirip.

    Kalo Anda bilang tetua, maksud Anda Tetua di alam sihir?

    “Iya!” Di dunia sihir, seorang Tetua berfungsi sebagai asal mula aliran teologi baru — maksudnya, mereka orang yang nyiptain aliran sihir baru. Contohnya, kepala Sekolah Dukan itu Ihelm, tapi Tetuanya Dukan, yang meninggal 50 tahun lalu.

    Maksud Anda Profesor Deculein bakal jadi asal mula aliran baru?!

    “Ada kemungkinan~! Tapi tesisnya masih susah banget! Aku juga masih nggak ngerti! Aku harus pergi belajar!”

    “…” Epherene ngertakin giginya …Tetua? Apa dia denger itu? Deculein bakal jadi Tetua? Apa si Ketua yakin soal itu? Tesis macam apa itu? Kalo bahkan si Ketua aja susah ngertiinnya…

    Semua suara gemuruh di dalem menara itu nyakar sarafnya. Tawa sama obrolan di antara mereka bikin dia makin kesel.

    “Tetua…” Epherene bergumam kosong, tenggelam dalem pikirannya bentar. Kalo Deculein jadi Tetua, gimana kalo, pas terbang gemilang pake pencapaian ayahnya, nama ayahnya malah terkubur di dasar? Cuma ngebayanginnya aja udah bikin dia mual kayak ususnya dipelintir.

    “…” Epherene ngeluarin surat. Kalimat pertama – ‘Kusiapin penelitian buatmu-‘ – ditandain pake tulisan tangan ayahnya. Dia baca kalimat itu lagi terus natap kertas itu pake mata kosong.

    “Iya! Ada sesuatu yang spesial banget soal tesis itu! Pertama, aku bakal selesain inspeksiku terus ngumpulinnya ke Pulau Terapung~!” Wawancaranya masih berlangsung. Tapi, penelitian yang dipercayain ayahnya ke dia punya orang lain selain mereka.


    …Hari ini, aku diganggu wartawan sejak naik mobil sampe kerja, berkat rumor ngumpulin tesis yang diungkapin Adrienne.

    Anda berencana jadi Tetua?
    Anda mau namain alirannya apa?
    Sebagai kandidat kuat ketua, tolong kasih sepatah kata!
    Meja Bundar nggak bakal diem aja.

    Pertanyaan tanpa konteks terbang masuk dari luar jendela mobil, dan aku nyaris nyampe lantai 77 menara dengan kameramen kurang ajar ngejar di belakangku.

    “Profesor!” Allen, ngeliat aku di lorong, lari nyamperin. Aku masuk kantor tanpa ngomong apa-apa. Allen ngikutin, megang gulungan kertas.

    “Profesor!”

    “…Apa.” Pas aku noleh ke dia sambil ngelepas jas pake Psikokinesis, dia batuk – Ehem. Terus-

    “Apa tujuan Anda jadi ketua?”

    “…” Aku natap dia diem-diem. Allen ngelirik sekilas kertas yang dipegangnya.

    “Anda terlalu lama jawabnya.”

    “…Lagi ngapain kamu?”

    “Ini pertanyaan umum dari sidang. Aku nulisnya-”

    “Cukup.”

    “Iya…? Bukannya kita butuh persiapan kayak gini? Penyihir Ihelm juga lagi nyiapin sama keluarga Kekaisaran.”

    “Nggak perlu.” Mungkin kalo Deculein asli, daripada nyiapin ini, dia pasti lebih tenggelam dalem kerjaannya buat dorong Ihelm ke jurang kehancuran.

    “Tetep aja…”

    “Kubilang cukup.”

    Tok, tok- Pintu kebuka bareng ketukan.

    “…Profesor. Anda di sini.” Itu Epherene. Dia nyamperin aku diem-diem terus naro kertas-kertasnya di mejaku. Caranya nundukkin kepala terus langsung balik badan beda dari biasanya. Dia terkulai kayak spons basah, netes tiap langkah.

    “…” Aku nggak cukup tertarik buat nanya kenapa. Aku nggak tertarik sama sekali. Pasti cacat kepribadian.

    “Epherene. Ada apa…?” Allen, di sisi lain, agak beda.

    “Allen.”

    “Oh, iya?” Dia natap aku pake ekspresi pura-pura khawatir.

    “Sekarang pergi. Aku ada kerjaan.”

    “Oh, oke. Dan gimana sama itu… tanya jawab yang diharapkan.”

    “Aku cek ntar kalo ada waktu.”

    “Yep! Semangat, Profesor!”


    Adrienne itu ketua Menara Sihir. Maksudnya, dia kepala para direktur. Ada tiga belas anggota, termasuk dekan universitas sama penghubung Kekaisaran, yang giliran jadi dewan direktur buat Universitas Kekaisaran.

    “…Selamat, Ketua.” Mereka nawarin rasa hormat tertinggi ke si Ketua. Buat Adrienne, yang mau jadi Archmage, otoritas Kaisar bahkan nggak bisa nyampe ke dia lagi. Dia bakal jadi makhluk tak tersentuh, paling nggak pas dia ninggalin menara.

    “Makasih! Silakan duduk!” Adrienne ketawa kecil terus nyuruh para direktur duduk. Mereka dikumpulin di ruang konferensi khusus lantai 100 menara di bawah tema nyewa ketua sukses.

    “Ihelm sama Deculein. Dua-duanya orang berbakat yang cocok sama posisinya, tapi yang paling kuat itu Deculein, yang udah kerja buat menara hampir sepuluh tahun.” Salah satu dari tiga belas direktur, Drumman, maju sebagai presenter. Adrienne ngangguk setuju.

    “Iya, yah! Bener! Tapi kita nggak pernah tahu apa yang bakal kejadian! Pertama, kita harus selesain evaluasi kandidat setelah sidang!”

    “Anda bener. Sidangnya dijadwalin Senin dua minggu lagi.”

    “Hmm~, bagus kalo dilakuin cepet! Kalo ada yang buruk, kita bakal tahu langsung! Panggil mereka keluar! Voting sama rapat final harus dateng setelah itu!” Semua orang kayaknya setuju. Si Ketua lanjut ngomong seneng.

    “Tapi, apa dua kandidat itu ngajuin Aplikasi Saksi di sidang?!”

    “Iya. Penyihir Ihelm ngajuin total tiga referensi, dan Profesor Deculein nggak punya.”

    “Dia nggak punya?!” Adrienne nunjukkin keterkejutannya.

    “Iya. Tapi, paling nggak satu orang dibutuhin, jadi kupikir Profesor Louina atau Profesor Relin bakal maju.”

    “…Yah. Kasih aku daftar itu.”

    “Ini” Direktur Drumman nyerahin amplop. Karena harus dirahasiain, itu barang yang disegel sihir.

    “Mereka nggak bisa liat siapa ngajuin siapa sebagai referensi kan?”

    “Iya. Itu prinsip buat diungkapin pas hari H.”

    “Oke.” Sambil ngangguk, dia liat daftarnya, ngecek nama-nama.

    “…Hah?” Apa dia salah baca? Dia kucek matanya terus liat lagi. Sama aja.

    “Ini…” Adrienne natap dewan, nunjuk jarinya ke baris tertentu.

    “Iya. Kami juga lumayan kaget sih. Siapa sangka kalo pendatang baru yang udah di menara kurang dari setahun bakal ngajuin?” Denger kata-kata mereka, Adrienne ngejap beberapa kali. Kayak ikan, dia diem-diem gerakin mulutnya naik turun, terus tiba-tiba-

    “…Pffft!” Senyumnya keluar entah dari mana bareng tawa keras. “Hihi! Ahaha! Ini… pfffufu!” Kayak anak kecil seneng atau balon kempes, Adrienne baca ulang [Aplikasi Saksi].

    “Ahahaha…!”


    Jadwal sidang Menara Sihir Kekaisaran juga diumumin di Istana Kekaisaran.

    “Kandidat ketua….” Sophien guling-guling di ranjang, natap dokumen ngumumin sidang buat Deculein sama Ihelm. Keiron ngangguk.

    “Iya, bener.”

    “Hmmmm…” Kaisar mikir, ngelus dagunya. “…Hmm.” Politik sama taktik macam apa yang bakal mereka pake? Serangan macam apa? Lumpur macam apa yang bakal mereka lempar? Bakal jadi pertandingan menarik banget, cuma mikirinnya aja udah.

    “Bagus. Aku bakal pergi juga.”

    “…Iya?” Sophien nyengir ke Keiron. “Aku juga bakal hadir.”

    “Ah. Maksud Anda sebagai kucing?”

    “Nggak. Langsung. Secara pribadi.”

    “…” Keiron masih belum terbiasa sama sekali sama Sophien yang sekarang, yang baru-baru ini mulai kerja di luar.

    “Kalo ini sidang ketua berikutnya, cukup buatku buat hadir. Menara itu dulu punya aku kok, lagian.”

    “…Kehadiran Yang Mulia aja udah bisa bikin situasi nggak seimbang.” Keiron nyatain keberatannya dengan semangat, bikin Sophien nyipitin mata ke dia.

    “Kenapa?”

    “Karena, tentu aja, Deculein itu penyihir pengajar Yang Mulia.”

    “Hah, bener. Deculein penyihir pengajarku, tapi Ihelm juga penyihir langsung di bawah keluarga Kekaisaran yang udah kutemuin puluhan kali. Masalahnya apa? Kenapa pendapatku nggak boleh direfleksiin?”

    “…”

    “Menara itu punya aku. Punya aku, bukan punya siapa-siapa. Hah? Punya aku.”

    “…”

    “Ini soal nemuin orang buat mimpin barang milikku. Bukannya aku harus hadir?”

    “…Iya. Saya nggak mikir sampe situ.” Keiron ngangguk sambil narik napas. Kaisar pemalas, sebaliknya, nggak narik keputusannya begitu udah dibuat.

    “Hmph!” Sophien nyeringai.


    …Selama sepuluh hari itu, topik diskusi di menara semuanya soal sidang. Kenaikan Adrienne ke posisi Archmage itu hal wajar, jadi sidang Ihelm sama Deculein, yang agak lebih nggak pasti, narik perhatian.

    “Apa bakal Ihelm yang muncul entah dari mana atau Profesor Kepala Deculein ya? Sekarang, 80% orang bilang Deculein yang pegang keuntungan.” Julia merenung sambil liat papan pesan. Di sana, pendapat para penyihir menara sihir lagi ditulis. “Tapi kudenger Ihelm pede banget. Dia ngajuin sekitar tiga atau empat saksi. Apa dia udah ngerahin semua koneksinya ke keluarga Kekaisaran?”

    Epherene nggak nanggepin. “Menurutmu Deculein udah pasti ya? Dia cuma punya satu saksi, dan kayaknya dia nggak banyak ngomong sama siapa pun.”

    “…”

    “Jadi, kalo Deculein kalah, itu gara-gara kecerobohannya. Oh~, apa yang bakal kejadian besok ya? Aku penasaran.”

    Epherene naro pulpennya terus natap Julia. “Julia.”

    “Hah?”

    “Aku nggak tertarik.”

    “…Oh, i-iya.” Julia kaget sama penampilannya yang dingin dan beku luar biasa, naro semua yang lagi dia kerjain.

    “…” Epherene ngelihat jam; udah jam 7 malem. Sidangnya besok, dan biarpun mereka nggak tahu bakal butuh berapa hari, persiapannya mulai hari ini.

    “Aku pergi.”

    “I-iya. Sampe ketemu besok!” Julia lambaikan tangan, nyoba baca ekspresinya, pas Epherene naik lift.

    Bip- Pas dia masukin kartu yang dia terima dari Ihelm ke lift, tombol buat lantai khusus aktif. Tujuannya bukan lantai 1 maupun 77. Wuuung- Lift naik curam. Perubahan tekanan mendadak nutup telinganya, tapi dia nelen ludah buat ngelepasinnya.

    Ding-! Lift berhenti, dan di balik pintu yang kebuka pelan, Ihelm muncul.

    “Oh, kamu dateng.”

    “…”

    “Sayang banget ya. Sidang ini bakal lebih bagus kalo publik. Bukankah begitu?”

    “Jangan salah paham.” Epherene natap dia. Dia belum makan apa-apa akhir-akhir ini, jadi tatapannya penuh racun sama kelaparan. “Aku nggak di pihakmu. Aku bisa nyerang kamu juga.”

    “…Bener. Aku tahu.” Ihelm ngedikkin bahu pas ngejawab. “Situasi sama posisimu cuma nguntungin aku. Aku nggak mau lebih dari itu.”

    “…”

    “Kalo kamu ngerti, silakan tunggu. Ada ruang tunggu terpisah buat saksi. Lebih bagus dari hotel bintang 5. Aku bakal panggil kamu kalo waktunya pas, jadi istirahat aja.”

    “Solda Epherene, tolong ikut saya.” Entah kepala pelayan atau sekretaris Ihelm, Epherene nggak yakin yang mana, nyamperin dia. Epherene ngelirik Ihelm sekali lagi sebelum ngikutin si orang itu.

    “Tunggu di sini, tolong. Jadwal detailnya bakal diumumin nanti.” Dia duduk di ranjang terus natap kosong dinding. Tik-tok- Suara jarum detik kedengeran kosong. Tik-tok- Suara itu nyebar ke seluruh dirinya.

    “…Susah napas.” Nggak tahan sama keheningan, Epherene ngeluarin koper tuanya yang udah usang, ngambil acak salah satu surat ayahnya.

    “Ayah…” Dia merenungin tiap surat yang ayahnya tulis, pelan-pelan nenangin dirinya.

    “…Apa ini hal yang bener buat dilakuin?”

    Back

    Next

  • Villain Want to Live – Chapter 120

    Chapter 120

    Kuis dadakan! Epherene fokus nyerang soal-soal itu cuma pake skillnya. Tapi, dari kalimat pertama soal pertama aja, panjang perhitungannya, yang campuran angka sama sirkuit, nyaris nggak ada habisnya.

    “Ugh…” Epherene ngebayangin lingkaran sihir di kepalanya. Tapi, pas ada yang salah-

    Wussh—! Api kebakar di udara. Pas itu juga, Kreto ngangkat tangan.

    “Profesor. Anda bilang kami bisa diskusi kan?”

    “Persis kayak yang kubilang. Tapi, aku bakal nanya kalian semua apa kalian ngerti pertanyaannya.” Kreto ngelirik diem-diem ke Rose Rio, tapi dia udah kesurupan. Mana warna besi berkilauan di matanya. Katanya sih kalo udah nyampe level etheric, mana-nya juga jadi unik. Seperti dugaan dari Rose Rio, bahkan auranya pun metalik.

    “…Ah.” Epherene sempet terpikat bentar, tapi dia singkirin itu terus balikin matanya ke kertas ujian lagi, mulai perhitungan skala penuh. Dia mulai nulis rumus-rumus rumit di lembar jawaban sihir.

    “Epherene…?” Tiba-tiba, Drent manggil dia pelan. Epherene ngelirik dia sekilas.

    “Gimana sama ini?” Drent batuk terus nunjukkin jawabannya. Awal jawaban pertamanya mirip punya Epherene, tapi setelah itu, banyak banget errornya.

    “Iya. Nih, aku ngitung dua bagian ini kepisah terus gabungin.”

    “Oh ya? Aku langsung semua.”

    “Itu bikin lebih susah. Bukannya lebih baik pake cara gampang?”

    “…Aku malah lebih susah kalo ngerjainnya kepisah.”

    “Aku kerjain buatmu deh. Liat.”

    “Oke.” Pas mereka berdua lagi diskusi bareng-

    Lompat-! Tiba-tiba, Rose Rio berdiri terus nyamperin Deculein.

    “Nih.” Terus, dia nyerahin lembar jawabannya. Deculein cuma baca sekilas sebelum ngelirik balik ke dia terus ngangguk datar.

    “Kamu lolos. Masuk sana.” Ada lorong lain yang ditunjuk Deculein. Rose Rio pergi duluan, diikutin sama si Munchkin bulu merah.

    “Aku juga.”

    “Aku juga~.” Selanjutnya Adiksi Astal, Profesor Louina, Profesor Relin. Susah buat Epherene sama Drent, yang cuma Solda, buat nyamain kecepatan mereka.

    “…Sisa setengah doang.” Epherene ngelihat jam tangan. Sembilan puluh menit udah lewat, dan di sampingnya ada Kreto sama Drent.

    “Bagian ini. Kupikir ini sirkuit kunci yang bikin mana jadi murni. Gimana menurut kalian?”

    “Iya. Kupikir gitu. Dan Drent, gimana sama perhitungan yang kuserahin ke kamu?”

    “Oh, udah hampir selesai.”

    Dengan cara ini, mereka bertiga mikir bareng, ngerenung, terus bagi tugas selama tiga jam.

    Tik- Timer Deculein bunyi.

    “Waktu habis. Kumpulin.”

    “Oh, iya!” Mereka bertiga berdiri barengan terus ngumpulin jawaban mereka.

    “…” Deculein ngeliatin lembar-lembar itu. Ketegangan nyekek leher mereka kayak jerat, telapak tangan mereka basah keringet.

    “Epherene.” Deculein, naro lembar jawaban, natap Epherene.

    “Iya.” Deculein nunjuk ke satu bagian lembar jawaban. “Siapa yang punya ide misahin sama gabungin di rumus ini?”

    Misahin rumusnya dulu, ngitung, terus gabungin lagi dengan presisi. Gampang disaranin sih, tapi tingkat kesulitannya mirip sama nyoba transplantasi badan. Kalo berhasil, bisa nyelametin orang sekarat, tapi kalo gagal, cuma bakal bunuh mereka lebih cepet atau ngubah mereka jadi chimera mengerikan.

    “Oh, saya… itu ide saya. Mereka berdua bantu ngitung sama bongkar rumusnya… saya yang gabungin.” Epherene ngomong ragu-ragu pas Deculein terus natap dia dingin dari atas. Dia nebak kalo itu pasti salah. Drent sama Kreto, nebak reaksinya, mulai narik napas.

    Tapi, apa yang Deculein bilang selanjutnya adalah: “Ini luar biasa.”

    Itu pujian tak terduga.

    “…?!” Ngarepin teguran malah, Epherene, yang kepalanya nunduk, dongak natap Deculein pake mata belo. Dia lanjut pake nada datar kayak biasa.

    “Teknik ini bakal sangat ngebantu di masa depan, jadi asah terus. Kamu lolos.”

    “Mantap!”

    “Fiuuh…” Drent seneng banget, Kreto narik napas lega, dan Epherene cuma natap Deculein kosong.

    “…” Dia bingung. Hari ini, buat pertama kalinya dalem hidupnya, dia denger kalo kerjaannya luar biasa. Di luar kata-kata kosong atau lebay, dia nggak pernah denger pujian itu dari siapa pun. Dia nerima pujian pertama itu dari Deculein, dari semua orang. Mungkin bahkan ini cuma bentuk bujukan…

    “Epherene! Ayo!”

    “…Hah? I-iya…” Drent narik Epherene. Bingung, dia diseret kayak boneka kertas.


    Ruang kuliah kedua, tempat cuma kandidat sukses ngumpul. Itu ruang terbuka, dengan sungai ngalir ngelewatin sisi lain, tumbuhan hijau tumbuh subur, dan beberapa bola api ngambang di udara.

    “100 lolos. Lima puluh eliminasi.” Itu ujian buka buku di mana mereka bisa diskusi, tapi 50 murid yang nggak bisa ngerti jawabannya atau nggak nulis apa-apa dieliminasi. Dalem tiga jam, sepertiga murid disingkirin.

    “Saya udah nilai kalo 100 orang sisanya ngerti konten dasarnya. Saya bakal kasih kalian tugas.” Tugas. Sambil ngomong gitu, Deculein ngumpulin tanah di jalan jadi bentuk kayak penusuk; itu mantra namanya Earth Frame.

    “Ini aplikasi super simpel dari sihir atribut tanah 「Earth Frame」. Ini bukan pedang panjang atau kapak atau apa pun yang rumit. Penusuk simpel dan kecil.” Earth Frame itu sihir yang ngebentuk tanah jadi senjata dan biasanya nyambung sama Psikokinesis atau dipake langsung.

    “Iya. 「Earth Frame」 butuh paling nggak 20 goresan buat jadi senjata berguna.” Rose Rio ikut campur, jadi semangat soalnya ini spesialisasinya. “Sembilan goresan bisa nyiptain penusuk. Belati pake 20 goresan. Dalem sekitar 30 goresan, pandai besi mana pun bisa bikin objek lebih tajem dari pedang besi tempa.”

    “Iya.” Denger ucapan Rose Rio, Deculein ngangguk. “Tapi, esensi penggunaan murni itu ada di batas dasar. Allen?”

    “Iya.” Allen, yang berdiri di sebelahnya, nyerahin logam campuran mana. Deculein nerimanya terus megang penusuk yang terbuat dari Earth Frame.

    “Kalo sihir dipake murni, output sihir paling dasar ningkat tanpa batas tergantung skill penggunanya. Contohnya.” Itu penusuk yang dirajut cuma pake sembilan goresan sihir, tapi ujung tajemnya nembus logam campuran mana. Krak—!

    Mata Rose Rio melotot kaget. “Penusuk itu nembus logam campuran mana seharga 5.000 Elnes?” Lubang kebor di logam itu. Kaget, Rose Rio ngulurin tangan.

    “H-hei, kasih itu ke aku!” Deculein lempar logam campuran mana ke dia. Rose Rio langsung bikin penusuk dari Earth Frame terus nyoba nembus logam campuran itu pake cara yang sama. Cuma mantul aja bunyi ‘tink’ jelas.

    “Nggak. Apa yang kamu lakuin?”

    “Aku pake Earth Frame, tapi nggak penting sihir jenis apa itu.” Deculein ngabaikan Rose Rio terus lanjut. “Kalo kamu bisa nembus, mecahin, atau ngelelehin logam campuran ini pake kurang dari 14 goresan sihir, kamu bakal nyelesaiin tugasnya.”

    Epherene sama murid lain nelen ludah. Lebih baik dari sembilan goresan sih, tapi 14 goresan juga masih masuk ranah sihir elemen dasar. Di sisi lain, logam campuran mana itu buat dipake. Kalo harganya 5.000 Elnes, mungkin juga di atas level menengah.

    “Kalo nggak bisa, kamu keluar. Batas waktunya sampe kelas berikutnya. Oke, sekarang…” Deculein jentikin jarinya — 100 murid sisanya agak bingung. Mereka kira kelas hari ini bakal selesai dengan ini.

    “Mari kita mulai kuliah teori.” Mereka masih banyak yang harus dipelajari.


    Di Menara Sihir, lantai 99.

    Di kantor bundar seukuran lapangan olahraga, si Ketua sama anjingnya lagi duduk bareng.

    “Profesor Deculein! Ada apa?!” Begitu kuliah selesai, aku naik terus nyerahin dokumen ke dia.

    “Oh! Ini yang lagi kamu kerjain?! Itu! Itu… tesis…?” Si Ketua, yang lagi ngomong semangat, tiba-tiba berhenti terus natap mukaku. Terus, dia natap dokumen yang kuserahin terus balik ke mukaku lagi. Lagi ke dokumen. Setelah ngulang tindakan simpel itu kira-kira selusin kali, dia gebrak meja pake telapak tangannya.

    “Aha! Ini mimpi!”

    “Bukan.”

    “Maaf?!” Si Ketua nutup mulutnya yang kebuka pake kedua tangan. Dia pengen pamer kalo dia kaget.

    “Kalo ini bukan mimpi… Profesor Deculein! Ini palsu ya?!”

    Aku natap si Ketua tanpa ngomong apa-apa. Reaksi ini nggak terduga. Kukira dia bakal ketawa begitu nerima tesis ini.

    “Anda nggak jawab! Palsu! Iya kan!”

    “Bukan.”

    “Jadi kenapa…?” Dia nggak kelihatan seneng banget sebagai orang usil, biarpun biasanya ini bakal jadi hal yang sangat disambut baik. Malahan, dia kelihatan bingung dan nggak puas pas alisnya ngerut.

    “…Profesor Deculein! Profesor Deculein! Profesor Deculein!”

    “Kenapa Anda manggil nama saya tiga kali?”

    “Anda mau ngumpulinnya kayak gini?!” Adrienne nunjuk ke satu bagian tesis di halaman paling pertama. Bagian yang ngenalin nama [penulis pertama].

    “Iya.” Aku ngangguk. Terus, si Ketua liat tesisnya lagi. Kali ini, dia hampir naro matanya nempel ke kertas.

    “Huft…” Dia narik napas dalem. Apa ini beneran?! Mata si Ketua teriak gitu ke aku.

    “…Profesor Deculein! Anda mau ngumpulinnya kayak gini?! Saya nggak bisa benerinnya biarpun saya mau!”

    “Saya tahu.”

    “Nggak! Anda bukan Deculein ya?!” Si Ketua ngulurin jari. Tiba-tiba, hembusan angin naik terus nyelimutin badanku. Wuuung-! Itu teknik tingkat tinggi yang ngancurin semua mantra sihir yang diterapin ke target, dikenal sebagai Weathering. Badai itu nyapu mukaku, ngacak-ngacak kerah bajuku.

    “…Lagi ngapain Anda?” Setelah hembusannya reda, aku melotot ke si Ketua pas aku rapihin rambut sama bajuku yang berantakan. Mata si Ketua melotot sambil nyeringai.

    “…Itu Anda!”

    “Itu keraguan nggak penting.” Dia batuk – Ehem. “Kalau gitu. Aku harus percaya ini juga… haruskah kupercaya?!”

    Aku bisa ngerti kenapa dia terus nanyain pertanyaan ini. Ada masalah besar di makalah ini yang dunia nggak bakal bayangin kejadian kalo aku Deculein asli.

    “Nggak, nggak peduli seberapa banyak kupikirin!” Si Ketua baca kalimat itu lagi pake jarinya nusuk tiap huruf.

    “Penulis pertama!” [Penulis pertama] itu artinya pemilik tesis. Nama yang muncul pertama di halaman judul tesis, halaman paling mulia.

    “Ada dua!” Di tempat itu, nama Monarch Deculein, dan di sebelahnya, Solda Kagan, dengan jarak sama misahin mereka, muncul.

    “Apa ini masuk akal buat kepribadian Profesor Deculein… hah?” Terus si Ketua miringin kepala. “Tapi ini belum diuji kan?”

    “Iya.” Lebih tepatnya, aku nggak bisa. Tesisku masih teori doang. Eksperimen praktis, maksudnya, nerapin sihir, itu penting buat dapetin pengakuan tertentu, tapi aku nggak punya bakat buat itu.

    “Ini cuma teori buat sekarang, tapi cepet atau lambat, kita bakal bisa nerapinnya sebagai sihir.” Aku punya Epherene di bawahku. Dia bakal tumbuh cukup kuat buat ngertiin tesis ini paling lambat setengah tahun lagi. Terserah dia buat nerapin dan ngewujudin sihirnya.

    “Yah. Ada kasus di mana teori keluar duluan, terus eksperimen berhasil belakangan!” Terus, si Ketua ngangguk sambil bersenandung aneh. “Dan yah! Anda lagi nyiptain elemen murni baru! Selama isinya bagus, teori doang udah cukup buat nerima pengakuan! Kalau gitu, Profesor Deculein! Pergi aja! Biar saya baca!”

    Si Ketua ngeluarin sepasang kacamata bulet gede dari laci mejanya terus naro di pangkal hidungnya. Kacamatanya segede itu sampe nutupin sebagian besar mukanya.

    “Aku nggak suka ada orang di sebelahku pas lagi belajar! Pergi! Pergi!” Si Ketua lambaikan tangan.

    “Iya.” Aku langsung naik lift terus turun ke lantai satu.


    Langit malem penuh bintang. Pas aku mau ke parkiran menara, aku sadar di depan ada rambut pirang nyender ke dinding terus noleh ke arahku.

    “Kamu di sini?” Ihelm. Si cowok ngomong sambil senyum. “Hei, kudenger rumor aneh. Katanya kamu ngasih tesis ke anaknya. Bilang kalo dia ngerti dalem sebulan, kamu bakal balikin ke dia?”

    “…”

    “Kenapa kamu lakuin itu? Gimana kalo dia ngerti? Kamu mau ngapain?”

    “Dia nggak bisa ngelakuinnya kok.”

    “Aha~, seperti dugaan. Jadi kamu cuma ngejek dia? Kamu cuma pengen liat karena dia nggak bakal bisa ngurusinnya juga kan?”

    Aku geleng kepala. Aku nggak suka cara dia ngomong, apalagi nada noraknya itu. “Kamu juga udah berubah. Dulu kamu nggak kayak gitu.”

    Aku mulai gerak lagi, tapi Ihelm ngikutin.

    “Hei, Deculein. Nggak ngingetin kamu sama masa lalu ya jalan kayak gini?”

    “Nggak.”

    “Tetep aja, oh, tunggu. Uh, kamu cepet banget!” Aku lebarin langkahku. Dengan kakiku yang panjang ngelangkahin tangga, Ihelm nggak bisa ngikutin.

    •••••.

    Ihelm nge-klik lidahnya. “Sialan. Kenapa cepet banget?” Bajingan Deculein itu geraknya cepet banget. Dia nggak lari nggak jalan, geraknya pake kecepatan level sihir.

    “Tapi, yah?” Dia nggak perlu ngejarnya. Dia udah bilang semua yang pengen dia bilang dan denger semua yang perlu dia denger.

    “Hei. Kamu denger itu?” Ihelm ngelirik ke arah pohon indah yang mekar deket menara. Epherene, yang ngumpet di sana, kaget.

    “Kamu denger itu? Fakta kalo dia ngasih tesis ke kamu, tahu kalo kamu nggak bakal ngerti.”

    “…Aku udah tahu itu sejak semalem kok, oke?” Epherene, muncul dari balik pohon, dengan datar lipet tangan. Bibir Ihelm melengkung ke atas.

    “Kenapa kamu ngumpet di sana kalo kamu tahu itu? Kukira kamu nggak tahu, jadi kusengaja nanyain dia biar kamu denger.”

    “Aku punya pertanyaan. Buatmu.”

    “Apa.”

    “Apa hubungan antara kalian bertiga?”

    “…Apa?” Ihelm ngerut. Itu reaksi jujur. Epherene ketawa kecil agak jahat sebelum lanjut.

    “Hubungan antara bapakku, Deculein, sama kamu. Kalo kamu nggak kasih tahu itu, aku juga nggak bakal bersaksi. Ini simbiosis mutualisme.”

    “…”

    “Bukankah begitu?” Mulut Ihelm setengah kebuka seolah bingung. Tapi, dia narik napas pelan, terus nyengir.

    “Bener. Kami temenan. Deculein sama aku.”

    “…Temenan?” Pas Epherene nanya, dia benerin dirinya lagi. Dia ngulanginya kayak pertanyaan.

    “Apa kami temenan?”

    “Apaan tuh? Gimana sama bapakku?”

    “Pesuruh.”

    “…Dasar sialan-”

    “Bercanda, bercanda. Hahaha!” Ngeliat muka Epherene berubah jadi ekspresi iblis, Ihelm ngakak keras. Dia megangin perutnya, air mata muncul di sudut matanya. Epherene nghentakkin kakinya ke tanah.

    “Jangan ketawa!”

    “Maaf. Oke.” Huft! Ihelm narik napas dalem sebelum lanjut. “Kami setara. Bapakmu kongkalikong sama Yukline.”

    “Kongkalikong?”

    “Iya. Berkat kepalanya.” Ihelm ngetuk pelipisnya. “Bapakmu memikat Yukline pake kepalanya.”

    Epherene mikir bentar. Dia memikat Yukline; artinya kerasa agak ambigu.

    “Kalo Deculein terpesona sama teori bapakku—”

    “Hei. Apa Deculein satu-satunya Yukline?”

    “Apa?” Ke Epherene yang bingung, Ihelm senyum lebar. “Yeriel dari Hadekain juga Yukline, penyihir etheric Decalane yang sekarang udah mati juga Yukline waktu itu, dan dua cewek yang nikah sama si Decalane itu juga Yukline.”

    “Oh… kalau gitu-”

    “Nggak. Ssst.” Ihelm naro jari di bibirnya tiba-tiba. “Aku pengen kamu denger segini aja. Lebih dari ini bahaya buatmu. Yukline itu keluarga besar. Kalo kamu tahu lebih, mereka mungkin bunuh kamu.”

    “…Profesor Deculein… bunuh aku?”

    “Keluarga bernama Yukline.” Epherene natap lurus ke Ihelm, bales tatapannya.

    “Jadi, kamu harus jadi saksiku. Kalo kamu punya bukti, pastiin kamu tunjukkin. Maksudku, kalo ada bukti apa pun.”

    “Aku punya.” Sesaat, ekspresi Ihelm mengeras. Suaranya turun rendah, matanya natap Epherene dingin.

    “Kamu punya?”

    “Iya.”

    “Apa itu?”

    “…Rahasia.”

    “Rahasia?” Ekspresinya berubah, ngerut jadi kening. “Kamu bercanda ya? Aku perlu tahu apa itu biar aku bisa ngikutin-”

    “Itu surat yang kubagi sama bapakku; aku bakal bawa ke sidang. Dan, nggak ada yang perlu kamu ikutin. Namamu nggak ada di sana.”

    Denger ucapan berani Epherene, Ihelm sempet diem nggak bisa ngomong apa-apa. “…Oke. Artinya bajingan itu ngabaikan aku.” Ihelm ngangguk, ngacak rambutnya. “Pokoknya, oke. Surat. Itu bukti bagus, jadi pastiin ya. Aku bakal dorong kamu, jadi bikin serangan bagus. Riwaynde bukan keluarga yang sejauh itu ketinggalan dari Yukline.”

    Ihelm muter badan terus jalan pergi. Dia kelihatan mabuk dengan punggungnya goyang-goyang di bawah sinar bulan. Nontonin dia pergi, Epherene narik napas.

    “Hah…” Mau ini cara yang bener atau nggak, dia belum tahu. Mungkin ini jalan yang salah, salah total.

    Tapi. Misalkan nama ayahnya bisa diinget di dunia sihir cuma kayak gini; paling nggak mereka nggak bisa ngelupainnya. Kalo aja dia bisa ngapus rasa malu yang diderita ayahnya di menara. Kalo aja dia bisa dengan bangga ngumumin kalo dia anak ayahnya.

    “…Ayah.” Epherene megang tesis itu. Deculein bilang, ‘Kalo kamu ngerti dalem sebulan, aku bakal balikin ke kamu,’ tapi itu mustahil. Dia nggak niat balikin dari awal.

    “Aneh kan?” Jadi, kalo, kayak kata Ihelm, dia itu tumit Achilles Deculein. Kalo dia bisa ngancurin Deculein kalo aja dia bisa motong pergelangan kakinya…

    “Harusnya aku seneng. Harusnya aku lompat kegirangan…” Epherene malah ngerasain perasaan berkabut, anehnya pahit manis di dalem dirinya.

    “…” Apa gara-gara diri masa depan yang dia temuin suatu hari nanti? Dia nggak seneng, nggak sedih juga. Dia bahkan nggak bisa ngerasa lega; semuanya cuma kerasa pahit. Apaan sih ini, sakit perut?

    “…Aku harus mutusin.” Epherene bergumam pelan. “Aku harus mutusin.”

    Suara di bawah langit malem. Kurangnya rasa percaya dirinya ngambang di udara terus buyar, ditiup angin dingin.


  • Villain Want to Live – Chapter 119

    Chapter 119

    “…Sylvia sekarang tinggal di pulau yang dia ciptain.” Markas [Tim Pengawasan Sylvia] yang dibentuk Biro Intelijen bareng Biro Keamanan itu rumah biasa. Salah satu kompleks bata merah di Jalan Beijin tempat birokrat Imperium tinggal. Interior sama perabotannya juga biasa banget, nyamain bagian luarnya.

    “Ada kediaman atas nama keluarganya di Pulau Terapung, tapi kayaknya dia nggak sering ngunjungin.” Aku duduk di sofa ruang tamu terus ngelirik tim pengawasan. Wakil Kepala Keamanan Publik Lilia Primienne sama anggota bernama Badan Intelijen Lukehall. Selain dua orang ini, ada enam agen lagi yang katanya luar biasa di bidang masing-masing.

    “Gimana sama monster yang diciptain alam bawah sadar Sylvia?”

    “Udah ilang, tapi menurut kesaksian saksi mata, kelihatannya kayak gini.” Cewek tinggi pucat dengan mulut gede kayak hiu penuh gigi.

    “Kelihatan gila. Dan tempat namanya Pulau Tanpa Nama, pencapaian yang naikin dia jadi Monarch?” Seorang agen badan intelijen masukin mana-nya ke bola kristal. Kristal itu nampilin pemandangan pulau.

    “Hmm…” Primienne lipet tangan tanpa ngomong apa-apa lagi bentar. Agen rambut merah Lukehall mecahin keheningan.

    “Gimana menurut Anda, Wakil Direktur Primienne?”

    “…Aku bisa ngerti kenapa dia jadi Monarch dalem tiga bulan.” Agen lain ngangguk kagum, tapi suasana pulau itu familiar buatku. Telinga padi sama daun-daun goyang ditiup angin di atasnya; matahari bersinar terang kayak api membara. Itu teknik dari ujian yang kuberikan. Sylvia udah mindahin kanvas Van Gogh ke pulau itu.

    “…Dia belajar dengan baik.” Primienne sama agen lain noleh ngadep aku.

    “Anda pura-pura ngajarin dia itu, atau Anda beneran ngajarin dia?”

    “Kalo Anda penasaran, beli kertas ujian saya terus liat. Kadang ada lelang ulang di Pulau Terapung.”

    “…Lelang?” Primienne ngelirik Lukehall, yang ngasih isyarat ke agen lain. Si agen langsung pergi; mungkin dia ke Pulau Terapung.

    “Profesor Deculein.” Lukehall narik perhatianku. “Level apa yang harus ditetapin buat operasi pengawasan? Tolong kasih pendapat Anda.” Level pengawasan. Gampangnya, itu buat nilai risiko subjek, dan urutannya, dari atas ke bawah: hitam—merah—biru—hijau.

    “Kami mikir grade merah.” Primienne ngangguk setuju. “Lima orang udah jadi korban monster ciptaan Sylvia. Rating merah udah cukup.” Definisi merah itu pengawasan bersenjata jarak deket yang ngakuin kalo subjeknya berbahaya.

    Aku geleng kepala. “Nggak perlu. Hijau udah cukup.”

    “Maaf?” Hijau, di sisi lain, cuma berarti pemantauan jarak jauh. Primienne sama Lukehall sama-sama masang ekspresi nggak percaya.

    “Ada alasan kenapa Anda mikir gitu?”

    “Nggak mungkin orang yang nyiptain pulau itu nggak sadar kalo ada orang deketnya lagi ngawasin. Keanehan dalem pemantauan grade biru berpotensi nyebabin stres.”

    “Tapi-”

    “Dan.” Aku nyela Lukehall, natap dia pake mata lembut dan cekung. “Dia anak baik.”

    “…” Kali ini, mata semua agen fokus ke aku.

    “Kita cuma perlu ngawasin dari jauh. Seberapa banyak Sylvia bakal tumbuh, dan seberapa jauh dia bakal pergi.”

    “…Apa?”

    “Nggak perlu nganggep anak yang bukan monster kayak monster.” Aku berdiri pas Lukehall garuk kepalanya terus ngangguk.

    “Yah, itu pendapat ahli sih, jadi kami bakal lakuin itu. Buat sekarang, kami bakal tetapkan dia grade hijau.”

    “Kalau gitu, terima kasih.” Aku tenang ninggalin rumah itu dengan Wakil Direktur Primienne ngikutin aku.

    “…Anda ngerasa bersalah sama anak itu?” Suara khas Primienne yang datar dan kering nyampe ke aku. Aku lanjut jalan sambil mikirin Sylvia. Apa aku jadi terikat sama dia tanpa sadar? Apa aku kasihan sama masa lalu kami bersama? Atau…

    “Dia anak yang kasihan.” Kasihan bukan perasaan yang bagus, dan sebagai Deculein, aku hampir nggak pernah ngerasainnya. Tapi, ya emang gitu kasusnya. Masa lalu Sylvia nggak mulus. Dia anak yang ngalamin terlalu banyak luka dalem waktu terlalu singkat. Dia tumbuh setelah ditinggalin gitu aja, bunuh diri dalem upaya buat tumbuh.

    “Nggak perlu ganggu dia lagi.”

    “…” Primienne nggak nawarin apa-apa lagi. Dia jalan di sampingku dan, di satu titik, misah buat jalan sendiri.

    ••••••

    Sementara itu, mantra angin yang diciptain Sylvia nyampe ke tanah jauh yang dia tuju. Dia bahkan belum ngasih nama sihir itu. Cuma angin aja, yang, nggak peduli jaraknya, nggak peduli rintangan, ngirim suara dunia lewat mana-nya.

    Dia anak baik.

    Itu yang dia denger lewat angin yang ngirim ke dia.

    Kita cuma perlu ngawasin dari jauh. Seberapa banyak Sylvia bakal tumbuh, dan seberapa jauh dia bakal pergi…

    Biarpun waktu terus berjalan, sikap dan cara ngomong Deculein kayaknya bakal bertahan selamanya.

    — Nggak perlu nganggep anak yang bukan monster kayak monster.

    Sylvia nguping semuanya, ngawasin tanah jauh itu dari ribuan meter di langit.

    Anda ngerasa bersalah sama anak itu? Pertanyaan orang lain, bukan Deculein. Deculein ngejawab setelah jeda.

    Dia anak yang kasihan.

    Dia ngepalin tangannya; jantungnya mulai berdebar kenceng. Kasihan kayak gitu, tapi dia nggak pernah minta sekalipun. Dia cuma…

    Nggak perlu ganggu dia lagi.

    Tiap kata Deculein nusuk jantungnya. Sylvia ngertakin giginya, umpatan pelan ngalir keluar.

    “…Bajingan jahat.”

    “?” Di meja teh deketnya, Idnik, yang lagi nyiapin teh, noleh natap dia. Sylvia kelihatan hampir nangis. Idnik nge-klik lidahnya terus jalan nyamperin dia.

    “Sylvia. Kamu lagi nyoba benci dia?” Sylvia melotot nanggepinnya. Idnik, sambil nyeringai, nyerahin cangkir. Terus dia duduk di sampingnya terus ngelihat pemandangan pulau. Seindah lukisan cat minyak. Familiar yang terbang di atas padi dan yang lari ngelewatin ladang gandum nyiptain gambar damai. Cuma Sylvia yang kelihatan sedih di tempat itu.

    “Berhenti keliatan sedih gitu.”

    “…Jangan peduliin aku.”

    “Peduli? Sylvia. Ada hal kayak ekspresi tertentu nempel di mukamu di dunia ini.”

    “Aku nggak percaya itu.”

    “Itu bukan kepercayaan; itu fenomena.” Idnik miringin matanya terus natap muka Sylvia. Sylvia ngerut terus ngedorong Idnik pergi.

    “Ekspresi muka dateng dari hati. Kalo hatimu busuk, ekspresimu busuk juga.”

    “…”

    “Kalo ekspresi busuk terlalu lama, pola busuk itu terukir di muka seseorang. Kamu lagi ngukir ekspresi itu di mukamu sekarang.”

    Sylvia berdiri tanpa ngomong apa-apa terus masuk ke rumah; itu kediaman lukisan cat minyak yang dia bikin sendiri.

    “Oke. Istirahat aja.” Idnik ngomong ke dirinya sendiri sambil senyum pelan.


    Malem, pas bulan sabit tua ngegantung di langit.

    Epherene balik ke asrama buat pertama kalinya dalem waktu yang kerasa kayak selamanya, bawa tiga potong roti yang udah dia beli. Satu-satunya alasannya adalah bulan kelihatan kayak roti entah kenapa.

    “Huft…” Dia narik napas pelan pas naro ransel sama kantong rotinya. Terus dia ngebungkuk terus ngulurin tangan ke bawah ranjang buat ngeluarin koper tua yang pas banget ukurannya. Setelah mainin kuncinya beberapa kali, koper itu kebuka.

    “…” Surat-surat ayahnya kesembunyi di dalem. Epherene inget masa lalunya pas baca kertas-kertas banyak ini, kadang seneng, kadang kesel. Waktu-waktu pas dia berharap ayahnya bakal balik suatu hari nanti, dan mungkin mereka bakal bahagia bareng.

    “…Tumit Achilles.” Ihelm bilang dia itu tumit Achilles Deculein. Dia bilang kebaikan Deculein ke dia cuma bentuk bujukan. Tapi, diri masa depan yang dia temuin di Locralen — biarpun ingatannya sekarang samar — nggak nganggep Deculein kayak musuh.

    “Aku nggak tahu…” Huft- Napasnya dorong poninya naik dikit. Epherene, ngerasa kayak nunda-nunda, tiba-tiba ngeluarin sertifikat sponsornya dari laci. Itu bukti kalo dia didukung sama Deculein. Dia naro [Aplikasi Saksi] dari Ihelm di sebelahnya.

    “…Ayah, aku nggak tahu.” Epherene ngacak rambutnya, ngerang.

    “Apa…” Tapi, nggak peduli seberapa banyak dia mikir, kayaknya nggak banyak cara lain buat maju. Ini hampir satu-satunya cara buat tahu arti sebenernya Deculein dan masa lalu antara ayahnya sama dia.

    Dia ngangkat [Aplikasi Saksi] terus ngelihat ke luar jendela ke arah bulan.

    “…” Bulan yang kelihatan kayak roti. Epherene buka kantong kertas terus gigit croissant-nya.


    …Keesokan harinya.

    Aku pesen cermin dari pengrajin pulau terus bangun menara cermin di halaman belakang kediaman Yukline. Semuanya buat ngelatih bakat baru ini beneran.

    “Tuan. Anda butuh sesuatu lagi?” Si Kepala Pelayan Ren nanya, tapi aku geleng kepala.

    “Nggak. Segitu udah cukup. Jangan biarin siapa pun masuk.”

    “Iya.” Setelah Ren nunduk, dia buka pintu menara cermin buat nunjukkin ruang di mana banyak cermin di sisi-sisinya mantulin interior. Berdiri di tengah, aku ngangguk dengan rasa puas yang nggak sedikit.

    “…Pasti.” Aku ngerasa badanku sama mana-ku jadi lebih ringan. Arti asal cermin itu properti, atribut, sama karakteristik cermin itu semua bakatku. Dan persis kayak gitu, aku ngerasa kalo aku lagi di elemenku pas di sekitar mereka. Aku bisa ngegambarinnya sebagai rasa memiliki yang simpel banget.

    “…” Aku ngeluarin wood steelCetakk—! Pas aku jentikin jari, mereka melesat lurus. Barengan sama itu, dia belok ke kanan. Potongan tunggal itu gerak kayak dua.

    “Kalo aku nambahin lebih banyak mana ke sini….” Wood steel yang gerak lurus membengkak jadi puluhan, berkelebat. Kali ini, aku pake refleksi.

    “Daya bunuhnya luar biasa.” Fungsi yang berguna banget pas ngadepin manusia atau monster. Cermin sebagai media masih penting, tapi dengan sedikit polesan lagi, refleksi sama refraksi bakal mungkin di tempat tanpa cermin. Maksudnya, pake permukaan polesan kayu sama baja itu sendiri sebagai cermin.

    “Hmm.” Tapi, bahkan ini cuma batu loncatan. Tujuan utamanya itu nerapin asal ini ke Snowflake Obsidian. Logam bening dan transparan itu punya properti cermin, jadi nggak mustahil.

    “…Lagi.” Aku lanjut latihan. Clank-! Clank, clank-! Di Menara Cermin, aku ngulang latihan refraksi sama refleksi pake wood steel, ngasah gerakan Psikokinesis biar lebih tajem dari sebelumnya. Setelah ngabisin 90% mana-ku, aku selesai latihan.

    ◆ Status Memorize : Pemula/Menengah Psikokinesis (96%)
    ┏ Pemula/Menengah Pengendalian Api (72%)
    ┣ Pemula/Menengah Manipulasi Cairan (71%)
    ┗ Penguatan Logam (95%)

    “Segitu udah…” Penyelesaian Penguatan Logam, sama Psikokinesis Menengah, udah nggak jauh lagi. Dengan itu, aku bisa agak lebih santai sampe gelombang monster musim dingin muncul.

    Aku lap keringet dari badanku pake Cleanse terus jalan keluar. Udah malem.

    “Oh. Anda baru keluar sekarang?” Tapi ada orang tak terduga nungguin aku.

    “Senang bertemu Anda~.” Josephine lagi duduk di meja teh. Dia nyeruput kopinya terus ngelambai nyuruh aku gabung sama dia.

    “Aku lagi nungguin kamu dateng~.”

    “…Kamu kelihatan lagi seneng ya.” Aku rapihin bajuku, termasuk dasiku, terus nyamperin dia.

    “Kenapa kamu di sini?” Josephine senyum cerah.

    “Aku mau bilang ke Julie kalo kita udah nemuin mayat Veron. Terus dia bakal nguburin dia lagi.”

    “…”

    “Semua Ksatria Freyhem bakal hadir di pemakaman. Aku bakal lakuin apa yang kamu mau di sana.”

    Aku ngangguk diem-diem, bikin Josephine manyun terus ngedumel. “Tapi apa ini cara yang bener? Kalo Julie tiba-tiba mati gara-gara syok—”

    “Itu cara yang bener.” Musim dingin abadi? Aku tahu trait itu lebih baik dari Julie sendiri.

    “…Oke~.” Josephine mulai nggambar huruf pake jarinya di meja teh. “Aku nggak punya pilihan selain percaya sama kamu. Aku tahu itu. Nggak ada obat buat kutukan Julie.” Jari-jarinya nulis satu kata berulang-ulang. Kutukan. Kutukan. Kutukan. Kutukan. Kutukan… Terus dia ngangkat matanya natap aku.

    “Yah, karena itu kejadian pas ngelindungin kamu, kamu harus tanggung jawab.” Matanya yang natap aku sejernih es kosong, suaranya juga sama bekunya. Rasanya kayak natap jurang murni di mana nggak ada emosi.

    “Percaya sama aku. Julie bakal sembuh.”

    “Iya. Aku bakal percaya sama kamu. Tapi… kalo dia nggak sembuh, aku nggak tahu gimana aku bakal berubah.” Terus, Josephine senyum lagi. Dia berdiri terus lenyap kayak bayangan doang dalem hitungan detik.

    “…Pelacur gila.” Si Karakter Bernama Josephine itu cewek gila paling berbahaya di dunia ini. Sambil bergumam kata-kata itu dengan tulus, aku masuk kediaman. Ren nyamperin seolah udah nunggu begitu aku masuk.

    “Profesor, Asisten Profesor Allen berkunjung.”

    “Allen?”

    “Iya.” Ren nunjuk ke suatu tempat, dan aku sadar Allen lagi setengah tidur di sofa ruang tamu.

    “Allen.”

    “…!” Pas aku manggil, dia buka mata terus berdiri. Terus, sambil sempoyongan, dia senyum ke aku kayak anak anjing.

    “Profesor~.”

    “Ada apa?”

    “Oh! Ini bukan waktunya, persiapan kelas! Gimana Anda bakal nyiapin kelas? Kelas kedua kan sebentar lagi!” Persiapan kelas. Aku jawab tanpa ragu soalnya aku udah punya jadwal pasti.

    “Aku bakal suruh mereka tes catatan.”

    “Tes catatan? Kelas kita, bukannya baru satu sesi ya sejauh ini?”

    “Yang nggak ngerti kelas pertama nggak pantes dapet yang berikutnya. Ikut aku.”

    “Iya!” Aku jalan bareng Allen ke ruang kerja di lantai tiga. Dengan Allen berdiri diem di sampingku, aku ngeluarin selembar kertas dari laci.

    “Selesaiin. Ini sesuatu yang kubikin sendiri.”

    “Iya, iya.” Allen ngambil soal itu pake muka agak gugup. Dan…


    Hari Rabu tiba buat kuliah dua mingguan Deculein. Epherene naik lift ke lantai 80 Menara Sihir. Masuk kelas, kucing di sebelah Kreto narik perhatiannya.

    “Ini kucing yang Anda pelihara? Lucu banget.”

    “Oh, ini bukan punyaku. Ini kucing yang dititipin Yang Mulia ke aku.”

    “…Apa?” Kaget, Epherene cepet-cepet narik tangannya yang lagi ngegelitikin dagu si kucing. Si Munchkin kayaknya bilang ‘Hmph’ terus natap Epherene seolah nanya, ‘Berani-beraninya kamu?’

    “…Maaf.” Dia pelan-pelan mundur terus duduk. Sementara itu, murid lain dateng, dan tengah hari makin deket. Persis jam 12:00:00 pas Profesor Deculein muncul tanpa telat sedetik pun.

    “Senang bertemu kalian.”

    “Oh, um, profesor! Apa itu kucing yang matiin tampilan di kelas terakhir kali?” Langsung, Rose Rio nunjuk ke kucing merah itu. Penyihir lain gabung sama dia natap si Munchkin bulu merah pake tatapan agak tajem. Tapi, si kucing cuma goyangin ekornya seolah ngejek mereka.

    “Wow, liat tuh. Sok banget-”

    “Diem. Duduk.” Deculein nyetop mereka pake lambaian tangan. Rose Rio manyun tapi duduk.

    “Saya bakal mulai kelas.” Asisten Profesor Allen masuk kelas. Raut muka Allen agak kuyu, dengan lingkaran mata item tebel kayak nggak tidur, tangannya gemeteran. Entah kenapa, dia masang ekspresi firasat buruk.

    “Kuliah hari ini tes catatan.”

    “Tes catatan?” Pas kelas kedua, itu tes catatan. Epherene miringin kepala terus liat sekeliling. Murid lain juga masang ekspresi agak bingung, tapi apa? Semua orang tahu kalo kelas Deculein itu spesial dan punya caranya sendiri.

    “Allen.”

    “Iya, iya, iya.” Allen balikin kertas ujian pake tangan gemeteran terus bagiin. Epherene ngelirik kertas yang dia terima. Kelihatannya nggak ada perlakuan sihir apa pun.

    “Semuanya udah dibagikan.” Denger kata-kata Allen, Deculein ngangguk. Dia berdiri di tengah kelas, megang timer.

    “Mari kita mulai sekarang juga.” Timer mulai bunyi klik, dan Epherene cepet-cepet balikin kertas ujiannya.

    “…Apaan nih… bahasa alien?” Cuma ada dua pertanyaan di tes catatan itu. Tapi, isinya membingungkan banget. Di soal pertama, nggak ada satu kata pun ditandain pake bahasa resmi Kekaisaran. Cuma rumus sama operasi. Ke para murid, yang mulutnya kebuka lebar, Deculein lanjut.

    “Kalian bisa diskusi satu sama lain juga pake buku kalian. Tapi, kalo ada berantem kayak sebelumnya, semuanya bakal dieliminasi.”

    “…” Epherene pelan-pelan ngangkat kepala terus ngerasain suasana di sekitar kelas. Kayak dirinya, mata tak terhitung jumlahnya lagi nyari penyelamat.


  • Villain Want to Live – Chapter 118

    Chapter 118

    Tap- Aku berhenti di koridor Istana Kekaisaran, baca jendela status yang tiba-tiba muncul.

    [Quest Selesai: Cermin Iblis]
    ◆ Mata Uang Toko + 10
    ◆ Akuisisi Bakat: Asal ─ Cermin

    “…” Cermin Iblis, quest selesai. Dapetin mata uang toko sama bakat.

    Aku nggak ngerti, jadi aku muter balik waktu di kepalaku bentar. Pas lagi belajar sihir cermin sama kaca di perpustakaan, aku dapet telpon dari Sophien terus pergi ke Istana Kekaisaran, main catur dan… Nggak peduli seberapa banyak aku mikir, nggak banyak yang kejadian.

    Di sisi lain, hadiahnya gede banget. Tiga bakat, mungkin sepenting trait, itu atribut, asal, sama item. Di antaranya, aku belajar sebuah asal.

    “Asal.” Bakat sihir Deculein ada di atribut elemen, khususnya tanah sama api. Tentu aja, tanah sama api itu elemen yang secara luas ngandung konsep cermin, tapi asal ini punya implikasi beda. Gampangnya, aku punya gabungan bakat asal – cermin, dan atribut – tanah-api.

    “Tapi.” Aku masih nggak tahu kenapa quest-nya tiba-tiba selesai atau gimana caranya aku belajar asal cermin.

    Keluar! Terus koridor tiba-tiba jadi berisik. Nggak, seluruh Istana Kekaisaran kacau. Para ksatria Istana Kekaisaran muncul entah dari mana, lari sprint ngelewatin aula, dan para pelayan gerak cepet.

    Ayo! Semuanya ke sini…

    Aku ngikutin mereka pelan-pelan. Makin jauh aku jalan, makin banyak orang yang kulewatin. Pelayan sama ksatria tak terhitung jumlahnya nempel di jendela lantai satu, nontonin lapangan olahraga.

    “…Oh, Tuan Yukline! Liat pemandangan indah ini!” Ada orang megang aku. Sesaat kemudian, aku langsung ngerti.

    “Udah hampir 15 tahun, tapi Yang Mulia olahraga pagi ini…” Kaisar Sophien lagi latihan pedang sama Keiron. Aku, kayak semua orang lain, ngeliatin dia agak bengong.

    “…Apa dunianya udah berubah?” Ada orang bergumam gitu, tapi kalimat itu nyerep ke telingaku terus keputer lagi. Kayak batu dilempar ke kolam, nyiptain riak-riak kecil. Dan riak-riak itu ngebawa ke beberapa pikiran.

    Kelakuan impulsif Sophien dan keinginan buat olahraga pagi. Kalo fakta selesainya quest ditambahin ke keanehan ini yang jadi pertanda kehancuran dunia…

    “…” Aku mundur tanpa ngomong apa-apa. Ninggalin para pelayan sama ksatria, aku lanjut jalan nyusurin koridor, balik ke arah aku dateng sampe nyampe di tempat yang sedikit orang kelihatan. Aku sekarang berdiri di depan lorong menuju ruang bawah tanah Istana Kekaisaran. Aku nyamperin pintu kayu itu pelan-pelan terus megang kenop pintunya.

    Kratak— Kriek tapi nggak kebuka.

    “…” Aku naro tanganku di pintu. Perasaan nggak familiar ngalir dingin darinya.

    “…Apa di sini ya?” Rasanya kayak intuisiku ngasih tahu apa yang kesadaran gagal sampein. Ada ingatan tersembunyi di dalem yang aku nggak tahu atau udah lupa. Tapi, belum sekarang, belum waktu yang pas.

    “Oke.” Aku ngangguk terus balik badan tanpa ragu. Tiba-tiba, teriakan ‘Whoa!’ bergema di luar. Seluruh istana heboh pas nontonin Sophien. Haruskah aku liat, atau haruskah aku bawa Julie bareng aku, atau…

    “Julie.”

    “…!” Julie, pura-pura jadi patung ksatria di lorong bawah tanah, mulai gemeteran.

    “Kamu… tahu?”

    “Ayo liat Yang Mulia bareng. Kamu juga ksatria pengajar, jadi kuharap ini bakal ngebantu buat pelajaranmu berikutnya.”

    “…Iya.” Julie nyamperin, pake zirah baja. Aku jalan bareng dia. Sekarang, perpisahan kami udah nggak jauh lagi, tapi… Selama ini hari aneh kayak gini, kami bisa bareng.


    “…Ifi! Ifi!” Suara nembus kesadarannya yang kabur, dan tangan ngeguncang badannya. Epherene, yang lagi tidur, buka matanya sambil ngerang kayak zombie. Temennya Julia lagi ngomong sesuatu yang cuma setengah kedengeran sama dia.

    “Kamu denger itu?”

    “Apa…”

    “Sylvia!”

    “…Sylvia?” Epherene duduk sambil nguap. Julia lanjut ngomong berisik.

    “Iya! Kudenger dia udah jadi Monarch!”

    “…” Epherene masih pusing. Dia nguap buat kedua kalinya.

    “Monarch?”

    “Iya! Monarch!”

    “…Maksudmu peringkat penyihir?” Dia peregangan sambil nguap buat ketiga kalinya.

    “Bener! Peringkat Monarch!”

    “…Yah, masuk akal sih ngelihat levelnya.”

    “Masuk akal?! Ifi, dia bisa tiba-tiba jadi profesor kita lho.”

    “Nggak mungkin~.” Epherene ngelihat papan tulis. Kuliah yang dibutuhin buat jurusan ‘Sihir Area Luas Melawan Monster: Seri Penghancuran Atribut Api’ udah selesai.

    “Tapi kalo dia udah peringkat Monarch… aku iri.” Jujur aja, Epherene ngerasa kayak buang-buang waktu. Sebagian besar kuliah Solda terlalu gampang buat dipelajari.

    “Iri?! Itu cuma gara-gara koneksi keluarganya! Kalo dia rakyat biasa, dia nggak bakal pernah nyampe Monarch. Belum genap 6 bulan sejak dia dapet label Solda, tapi dia udah Monarch!”

    “…Iya.” Dia setuju aja sama Julia, yang lagi marah-marah, terus bangun.

    “Tapi Ifi, kenapa kamu nggak dateng ke restoranku akhir-akhir ini?” Julia miringin kepala seolah dia kesel banget. Anting mahalnya berkilauan kena cahaya. Epherene narik napas.

    “Huft~, aku pengen pergi juga. Tapi, banyak banget yang harus dipelajari.” Dia nggak punya waktu buat makan. Tepatnya, dia bahkan nggak punya waktu buat ninggalin menara. Dalem sebulan, tentu aja, mustahil buat ngertiin isinya 100%, tapi dia harus ngertiin, sampe tingkat tertentu, tesis yang ditawarin Deculein ke dia.

    “Kami baru aja mulai layanan antar.”

    “…Beneran?” Kata-kata itu nusuk telinganya. Julia senyum cerah.

    “Iya. Harganya agak lebih mahal sih, tapi karena kamu pelanggan tetap, pengirimannya gratis.”

    “…Beneran?” Epherene ngecap bibirnya tanpa sadar, mikirin makan.

    “Kalau gitu hari ini-”


    Epherene, yang udah pesen Roahawk lewat antar, naik ke lantai 77 dengan seneng.

    [Profesor Kepala: Deculein]

    Dia ngetok pintu kantor, sambil mainin kertas-kertas yang mau diserahin ke Profesor Deculein. Tok, tok- Nggak ada jawaban.

    “Apa dia nggak ada hari ini juga?” Epherene bergumam terus dorong pintunya. Pintunya kebuka alami, tapi nggak ada siapa-siapa di dalem. Apa karena dia lupa ngunci, atau dia cuma pergi bentar?

    Epherene nyelinap masuk terus naro kertas-kertasnya di meja Deculein.

    “…Hmm~, hmmmm~.” Dia mau balik, tapi malah diem-diem ngecek sekelilingnya. Terus, dia ngulurin tangan ke laci mejanya-

    Lagi nyoba ngapain kamu?

    “Ugh!” Kaget, Epherene noleh ke arah suara. Cermin panjang ngegantung di dinding, dan di dalemnya ada Profesor Deculein. Dia secara naluriah ngelihat ke belakangnya, tapi Profesor Deculein nggak ada di sana.

    “?” Dia liat cermin lagi. Di dalemnya ada Profesor Deculein.

    “…Apa? Kenapa Anda ada di cermin…” Dan nggak di luarnya. Ini situasi yang nolak persepsi manusia dan kemampuan kognitifnya. Pas Epherene bengong-

    Deculein lompat keluar dari cermin.

    “Hah?!”

    “…” Deculein nyamperin dengan tenang terus duduk di kursinya. Epherene yang ketakutan mundur, nyoba nggak nyentuh dia.

    “Kenapa penyihir kaget liat sihir?”

    “Apa… itu sihir?”

    “Itu sihir cermin.” Epherene natap cermin yang baru aja ditinggalin Deculein. Kelihatannya bukan artefak spesial.

    “Epherene. Akhir-akhir ini aku sering nemuin kamu di sini tanpa izin.”

    “Ah, soalnya pintunya kebuka… dan Anda bilang dokumen-dokumen ini juga penting.”

    “Tiga poin penalti.”

    “…Harusnya Anda kunci pintunya.” Deculein robek kertas-kertas itu, cepet nandatanganinnya pake pulpen. Langsung setelah itu-

    Jadi! Suara keras bergema di dalem kantor: Adrienne.
    Halo! Ini Adrienne, si ketua!

    “Apa?” Epherene ngelirik dokumen yang ditandatanganin Deculein. Judulnya [Konfirmasi Kandidat Ketua Berikutnya].

    Masa jabatanku mau berakhir! Akhirnya, hari ini, aku bakal umumin calon ketua berikutnya!

    “Epherene, kamu punya waktu luang sebanyak ini?”

    “Oh, nggak. Aku pergi.” Nanggepin pertanyaan Deculein, Epherene cepet-cepet pergi. Suara Adrienne terus bergetar keras di lorong lantai 77.

    Kandidat No. 1! Profesor Kepala Deculein! Kandidat No. 2! Kepala Sekolah Dukhan, penyihir peringkat tinggi yang diakui Keluarga Kekaisaran, Ihelm!

    Epherene neken tombol lift. Udah waktunya Roahawk-nya dateng.

    Sebagai ketua, kriteria evaluasiku cuma kinerja! Juri anonim lain juga bakal evaluasi! Penerusnya bakal diumumin musim dingin atau musim semi ini! Udah deket kan?!

    Ding-! Lift nyampe di lantai 77. Begitu Epherene sadar siapa orang di dalemnya, dia ngerut. Itu cowok pirang tinggi.

    “Huh~?” Kandidat nomor dua, Ihelm. Beda sama kejengkelan Epherene, dia senyum cerah.

    “Hei~, Leaf.”

    “…”

    “Ngapain diem aja di situ?” Ihelm nyelipin kaki ke pintu lift, yang mau nutup. Cih- Epherene nge-klik lidahnya terus naik lift.

    “Kenapa sih kamu nggak puas banget? Salahku apa?”

    “Bukankah udah kubilang namaku Epherene?”

    “Nama itu terlalu gurun. Bukannya Leaf lebih mesra dan bagus ya?”

    “…” Epherene mingkem rapat. Wuuung— Lift turun curam. Di keheningan, Ihelm ngomong pake suara nada rendah.

    “Leaf. Kamu bakal biarin Deculein jadi ketua?”

    “…”

    “Kalau gitu bapakmu bakal terkubur selamanya. Dia nggak bakal pernah diakui.”

    “…Astaga.” Lagi-lagi, ngomongin bapaknya, bajingan ini. Epherene, sambil ngertakin gigi, melotot ke Ihelm. Dia nyengir terus lanjut ngomong biarpun gitu.

    “Tesis Deculein bakal segera dipublikasiin, jadi apa dia bakal mikirin bapakmu, penulis aslinya? Malahan, dia bakal ngapus keberadaannya.”

    “Oh, ampun! Kenapa sih Anda terus ngomong-?!” Pas Epherene mulai teriak, Ihelm nyerahin selembar kertas ke dia.

    “Ambil ini.”

    “Apa ini?”

    “Aplikasi buat Saksi.”

    “…Maaf?”

    “Aku berencana jadiin kamu saksi di sidang mendatang.” Epherene baca sekilas.

    [Ihelm, kandidat ketua menara sihir, pengen Solda Epherene sebagai… ]

    “Lupa-”

    “Aku nggak peduli kalo kamu nolak, tapi ketahuilah kalo kamu satu-satunya kartu yang bisa kuandelin buat ngebalikkin Deculein.”

    “…Jadi?” Dengan jawaban datar itu, Epherene ngambil kertasnya buat dirobek.

    “Dengan kata lain, kalo kamu nggak turun tangan, Deculein pasti bakal jadi ketua. Terus dia bakal ngubur bapakmu.” Tangannya membeku.

    Ding-! Pas banget, lift berhenti.

    “Leaf. Kenapa bajingan Deculein itu punya kamu di sampingnya? Menurutmu alasannya apa?”

    “…”

    “Aku cuma pengen kamu mikirin itu.” Ihelm ngintip keluar dari lift kebuka. “Gara-gara rasa bersalah soal bawahan yang bunuh diri setelah pergi di bawah dia? Apa karena dia kasihan sama anak cewek orang itu? Gara-gara simpati picik? Nggak. Sama sekali bukan.”

    “…Apa yang mau Anda bilang?” Dia miringin kepalanya ke bawah terus natap Epherene. Rambut pirang lembutnya ngalir kayak ombak, mata merahnya ngelukis lengkungan dalem.

    “Kamu itu tumit Achilles Deculein.’”

    “Apa-apaan…?”

    “Apa cara terbaik buat ngentiin belati biar nggak nyampe dada kamu? Kamu nggak ngasih belati itu ke orang lain; kamu harus nyimpennya.”

    “…” Epherene ninggalin lift tanpa ngomong apa-apa. Suara Ihelm ngikutin di belakangnya.

    “Itulah kenapa dia punya kamu bareng dia. Biar kamu nggak punya pikiran aneh. Dan kalo kamu punya pikiran aneh, dia bisa tahu secepat mungkin.”

    Di pintu masuk menara, seorang sopir antar lagi liat sekeliling. Epherene cepet-cepet lari nyamperin dia.

    “Antaran Roahawk kan? Itu aku. Berapa?”

    “300 Elnes.” Ihelm ikut campur pas Epherene lagi ngubek-ngubek dompetnya.

    “Haruskah kubayar?”

    “Ayolah. Nggak perlu, pergi aja sana.”

    “Beneran? Yah, jangan lupa apa yang kubilang. Aplikasi saksi. Pastiin kamu simpen. Soalnya ini satu-satunya cara kamu bisa nebas musuh bapakmu pake tanganmu sendiri.” Ihelm nepuk bahu Epherene terus pergi.

    “…Nih. 300 Elnes.” Epherene ngeluarin 300 Elnes dari dompetnya.

    “Iya. Selamat makan ya~.” Dia balik ke lift.

    — Itulah kenapa dia punya kamu bareng dia. Biar kamu nggak punya pikiran aneh. Dan kalo kamu punya pikiran aneh, dia bisa tahu secepat mungkin.

    Suara Ihelm terngiang di telinganya. Epherene nelen napas.

    Kalo Deculein jadi ketua, bapakmu bakal terkubur selamanya. Dia nggak bakal pernah diakui.

    Dia natap [Aplikasi Saksi]. Udah kusut kayak lap, tapi…

    Aplikasi saksi. Pastiin kamu simpen. Soalnya ini satu-satunya cara kamu bisa nebas musuh bapakmu pake tanganmu sendiri.

    Dia nggak bisa nyobeknya, malah masukin kertas itu ke sakunya.


    「Asal: Cermin」itu hadiah yang lebih indah dari dugaan. Tentu aja, teknik tak terkalahkan kayak mantulin sama ngamplifikasi serangan itu mustahil, tapi aku sekarang punya kemampuan buat milikin fenomena kayak refraksi sama refleksi. Berkat ini, mungkin buat masuk keluar cermin kayak portal. Tentu aja, ini bakat yang baru kudapetin kemarin, jadi aku belum belajar semua detailnya—

    Tok, tok. Ada yang ngetok pintuku. Aku buka pake Psikokinesis.

    “Profesor.” Itu Primienne bawa kotak di tangan. “Semua yang nyambung sama Sierra udah dikumpulin.”

    Primienne naro kotak penuh laporan di mejaku, terus ngambil satu secara khusus. “Ini berkas soal Monarch Sylvia.”

    “…Monarch.”

    “Iya. Sekarang Sylvia peringkatnya sama kayak Anda. Dia nyelesaiin prestasi nyiptain pulau buatan di orbit Pulau Terapung.” Monarch Sylvia. Aku ngangguk, mikir. Aku nggak ngerasa cemburu sama sekali.

    “Baca. Berurutan, dari atas ke bawah.” Primienne duduk di kursi seberangku. Aku ngangkat berkasnya pake Psikokinesis terus baca hati-hati, kalimat per kalimat, tanpa kelewatan apa pun.

    “…” Aku nutup berkasnya. Primienne lagi nontonin aku serius.

    “Apa ini bener?”

    “Saya cuma spekulasi. Saya pikir faktanya lebih familiar buat Anda.”

    “…” Aku liat berkasnya lagi. Di antara dokumen tebel itu, ada surat kebakar api. Surat itu nusuk pelipisku kayak belati, ngebangkitin serpihan ingatan yang bahkan aku nggak tahu ada.

    Kamu pikir kalo kamu mati semuanya bakal berakhir? Kamu pikir pergi kayak gini bakal jadi akhir?
    …Dua tangan bersarung tangan nyekek leher seseorang.
    Ini bukan cuma kesepakatan. Nyawa bajingan sialan kayak kamu nggak ada harganya.

    Deculein ngamuk kayak orang gila. Mukanya yang berlumuran darah mirip muka iblis.

    Aku bakal bunuh suamimu Glitheon sama anak cewekmu yang kamu sayang banget itu.

    Dia teriak. Pake semua kejahatan bawaannya, dia teriak kata-kata itu kayak kutukan.

    Aku bakal kunyah terus makan semuanya!

    “…Profesor?” Aku ngangkat kepalaku lagi. Mataku gemeteran gara-gara sakit kepala mendadak.

    “Anda baik-baik aja?” Primienne natap aku curiga, tapi aku ngusir dia.

    “Saya baik-baik aja. Sekarang balik sana.”

    “Nggak. Hari ini hari rapat [Tim Pengawasan Sylvia].”

    “…Jadi?”

    “Tolong hadir.” Primienne naro tangannya di kotak yang dia bawa. “Saya juga udah dengerin permintaan Anda. Jadi, sekarang giliran Anda.”

  • Villain Want to Live – Chapter 117

    Chapter 117

    Jantungku nggak berdetak; paru-paruku nggak kerja. Suhu badanku turun drastis, dan saraf periferku, termasuk jari tangan dan kaki, jadi kebas pas organ-organku mati. Badanku udah mati.

    Tapi, Iron Man nunda kematian. Bukannya pake jantung sama paru-paru, pembuluh darahku secara artifisial kontraksi terus relaksasi berulang-ulang buat ngangkut darah sama oksigen. Ini cuma cara sementara buat ngulur waktu, tapi udah cukup bagus.

    Semua biar kematianku nggak ketahuan sama Sophien di dunia ini. Biar ingatan berikutnya bisa lanjut normal.

    Aku nyampe di ruang bawah tanah Istana Kekaisaran, gerbang kayu itu. Pintunya udah kebuka seolah nungguin.

    “…” Aku melangkah keluar ke ruang bawah tanah, nyampe ke tengah kegelapan pake langkah pelanku.

    “Kamu tahu kan bakal jadi kayak gini.” Aku denger suara saat itu, bikin aku ngelirik. Itu si Cermin Iblis masih ngambil wujud Sophien.

    “Udah selesai. Kamu udah mati.”

    “…” Aku ngangguk. Aku ngabisin 60.000 mana seketika dan nerima sejumlah besar energi gelap tanpa persiapan apa pun. Sejak saat itu, nggak ada kesempatan buat bertahan hidup.

    “Aku tahu.”

    “Kenapa kamu lakuin itu kalo kamu tahu? Aku penasaran.”

    Aku cuma merem. Aku punya lumayan banyak pikiran. Di antaranya, ada punya Deculein, ada juga punya Kim Woojin. Tapi cuma ada satu jawaban buat pertanyaannya.

    “Itu janji, dan aku nggak mau kalah.” Badanku udah ancur, otakku pelan-pelan rusak, tapi anehnya, aku senyum. Dalem kondisi gitu, aku buka mata terus natap lurus ke dia.

    “Aku nggak mau nyerahin dunia sama Sophien ke iblis menyimpang kayak kamu.”

    “…” Muka si iblis mengeras. Terus, si bajingan itu ngangguk.

    “Kalau gitu, selamat. Kamu menang.”

    Itu hal terakhir yang dia bilang. Aku pertama kali kehilangan penglihatan, terus aku jadi tuli. Cuma ada keheningan. Di dalem kekosongan, aku ngerasain kematian nyamperin aku.

    …Rasanya dingin banget pas disentuh.


    “…” Sophien bangun. Kepalanya agak pusing gara-gara ingatan campur aduk, tapi perbedaannya jelas. Deculein udah nepatin janji yang dia buat sama Sophien.

    “…Bajingan keras kepala.” Sophien senyum pas kata-kata itu keluar dari mulutnya. Dia emang udah nyaksiin semua kematiannya. Tentu aja, seolah metode kematian lain selain sakit itu nggak mungkin, dia pergi begitu Sophien sembuh.

    “Tapi…” Sophien ngelihat sekeliling. Dua mug penuh kopi dingin di meja teh; persis kayak pas Deculein pergi.

    “Kamu bilang kamu bakal hadapin aku.” Sophien ngerut terus ngambil cangkir teh. Sihirnya ngangetin kopi, terus dia nyeruput. Dia lanjut nunggu, ngetuk-ngetuk meja pelan pake ujung jarinya. Berapa lama ya dia butuh buat nyampe sini dari ruang bawah tanah, pikirnya.

    “…” Sophien nontonin jam. Tik, tok – Tik, tok- Jarum detik gerak maju tanpa henti, tapi Deculein nggak balik-balik. Segede apa pun Istana Kekaisaran, nggak mungkin butuh lebih dari 10 menit. Apa kemalasannya nular ke dia ya?

    Pas lagi Sophien, ngerasa kesel, lipet tangan terus mulai ngedumel pelan-

    Yang Mulia! Teriakan keras kedengeran dari luar ruangan. Sophien buka pintu pake Psikokinesis.

    “Ada apa ribut-ribut?”

    “Ini gawat! Di ruang bawah tanah Istana Kekaisaran…” Mata Sophien melotot pas penjelasan nyusul buru-buru. Dia lompat berdiri, kakinya gerak sebelum sempet mikir, dengan puluhan pelayan dan ksatria ngikutin di belakang.

    “Yang Mulia! Sini, kami nggak tahu-”

    Sophien buru-buru nyampe di ruang bawah tanah. Ada cowok berdiri di deket pintu kayu menuju ke dalem.

    “…” Sophien maju, matanya jadi kosong. Tiap langkah, dunia rasanya agak pusing, terus dia sempoyongan.

    “Hah…” Pas akhirnya nyampe di dia, dia ketawa denger keabsurdan ini. Tanpa sadar, dia udah mulai ngepalin tangannya, bikin buku jarinya putih.

    “…Kamu bilang kita bakal ketemu di akhir prosesku.” Deculein. Seluruh badannya terkikis energi gelap, dan dia berdiri seolah nyender ke dinding ruang bawah tanah. Semua fungsi vitalnya udah berhenti, urat nadinya udah jadi item. Dia kelihatan kayak mayat.

    “Maksudmu dateng balik kayak gini?” Sophien ngerasa sakit kepala dingin mulai muncul. Nggak disangka, momen-momen tak terhitung jumlahnya di hidupnya keputer ulang di depannya.

    “…” Ini cowok yang nemenin ingatan panjangnya, kayak jejak yang ditinggalin di sejarah Regresi-nya.

    “Y-Yang Mulia. Anda nggak boleh. Energi gelapnya bakal nyebar-”

    “Diem.” Dia ngabaikan nasihat menteri terus gerak masuk ke pandangan si cowok. Dia natap mukanya, ngamatin matanya yang merem.

    Saya bakal ngawasin Yang Mulia di mana-mana. Dia inget apa yang dibilang si bajingan itu pas pergi.

    Biarpun saya nggak keliatan bentar… Saya bakal selalu nemenin Anda lewatin proses Anda.

    Sophien natap pedang di pinggangnya. Itu pedang berharga yang diwarisin turun-temurun ke Kaisar Kekaisaran.

    …Boleh saya minta satu janji sama Anda?

    ‘Kalo sekarang… kalo aku bunuh diri, kamu bakal idup lagi.’

    Apapun yang terjadi… jangan bunuh diri.

    ‘Apa kamu tahu ini pas kamu bilang gitu?’

    Hargai hidup Anda… Yang Mulia.

    ‘Apa itu keyakinan sombong kalo aku bakal bunuh diri buatmu? Bajingan sialan ini.’ Kamu bisa aja bilang kalo kamu mau mati.

    “…” Ngerasain badai emosi yang belum pernah dia rasain sebelumnya, Sophien tiba-tiba sadar ada selembar kertas nyembul dari saku jasnya. Dia ngulurin tangan buat ngambil potongan itu.

    “Yang Mulia.” Si kasim Jolang manggil Sophien. Sophien noleh ke dia, kaku. Ada sedikit tawa di muka Jolang yang biasanya tanpa ekspresi entah kenapa.

    “Dua ksatria itu sekarang ditahan di Penjara Istana Kekaisaran.”

    “Ksatria?”

    “Iya. Itu Julie sama Keiron, yang berani berantem tanpa izin di Istana Kekaisaran.”

    “…Astaga.” Sophien narik napas. “Kekacauan sialan kejadian pas aku lagi tidur.”


    Kaisar Sophien secara pribadi ngunjungin Penjara Kekaisaran. Julie sama Keiron diisolasi di kandang terpisah, sebelahan. Dia ngelirik gantian ke mereka berdua.

    “Siapa yang menang?” Nggak ada jawaban.

    “Kalian ngabaikan apa yang kubilang? Atau kalian bilang itu berantem jalanan, bukan duel?” Duel sama berantem itu beda. Duel antar ksatria diperlakuin agak sakral, tapi kalo berantem, ceritanya beda. Dalem kasus parah, tanding di Istana Kekaisaran bahkan bisa berujung eksekusi.

    “…Saya kalah.” Julie akhirnya ngejawab, bikin Sophien nyengir.

    “Oke. Bakal aneh kalo kamu menang.”

    “Yang Mulia.” Terus, ekspresi Julie berubah jadi takut. “Mungkin, Profesor Deculein…”

    “Dia udah mati.”

    “…!” Julie ngangkat kepalanya. Ngeliat muka kaget itu, Sophien nge-klik lidahnya.

    “Ngeliat kamu, kamu si bego yang kayaknya bakal nyusul dia sebentar lagi.”

    “…” Julie nundukkin kepala tanpa ngomong apa-apa. Sophien noleh ke Keiron selanjutnya. Dia lagi berlutut.

    “Keiron.”

    “Iya.”

    “Ada yang mau kamu bilang?”

    “…Gimana perasaan Anda, Yang Mulia?”

    “…” Sophien ngomong ke pelayan di sebelahnya tanpa ngejawab Keiron. Dia nggak mau debat di sini.

    “Lepasin mereka berdua. Itu duel antar ksatria.”

    “Iya, Yang Mulia. Penjaga!” Si penjaga lari cepet buat buka kandang. Julie nggak bisa berdiri gampang soalnya masih syok, tapi Keiron gerak berdiri di belakang Sophien kayak biasa. Sambil ngasih lirikan terakhir buat Julie, Sophien pergi.

    “Cukup. Semuanya balik sekarang.”

    “””Iya, Yang Mulia. Terima kasih, Yang Mulia…””” Setelah nyuruh balik semua pelayannya, dia jalan nyusurin koridor Istana Kekaisaran. Tap, tap- Langkah kaki Keiron sama Sophien bergema di aula, tumpang tindih. Gerak sinkron sama langkah Kaisar itu dasar jadi ksatria pengawal.

    “…Keiron.”

    “Iya.”

    “Ada 「Bibliografi」 di saku dalem Deculein.” Sophien nyerahin kertas yang dipegangnya ke Keiron. Keiron ngambilnya tanpa ngomong apa-apa.

    “Kalo kamu liat, itu bilang kalo kamu lagi ngikutin Nescĭus.”

    “Iya.”

    “Masih?”

    “Iya.” Denger jawaban Keiron, Sophien senyum licik. Deculein, apa ini niat si bajingan pinter ini, atau kejadian kayak gini kebetulan aja? Kalo nggak…

    ‘Kenapa perasaanku gerak kayak gini pas mikirin dia?’

    “Kekuatan yang dirampas iblis kecil itu punya aku.”

    “Iya. Bener.” Sophien berhenti terus noleh ke Keiron. Dia langsung berlutut. Sophien condong ke depan terus natap dia dari atas.

    “Kalau gitu aku bakal nanya. Apa hukuman buat pencuri yang berani nyolong dari Kaisar?”

    “Mati.”


    Keesokan harinya, Sophien pergi pas subuh. Udah lama banget sejak dia ninggalin Istana Kekaisaran. Dia nggak ngasih tahu siapa pun kecuali Keiron terus sengaja nyuruh kereta jalan, dengan mata dan telinga Istana Kekaisaran nyebarin berita ke sana ke mari. Banyak keluarga petinggi nyimpen ketakutan dan harapan, mikir, ‘Bukankah Kaisar bakal ngunjungin kita?’. Sama juga, para pejabat Imperium sama gugupnya.

    Tapi tujuan Sophien bukan ngunjungin salah satu dari mereka. Setelah perjalanan tiga hari, dia nangkep si Nescĭus, yang lagi dikejar Keiron.

    “…Apa ini gambar yang kutakuti?” Buat Sophien, si Nescĭus cuma tengkorak ditutupin jubah item. Nggak serem sama sekali.

    “Tebas.”

    “Hmph. Kamu keliatan menyakitkan diliat. Dasar pengecut.”

    “…” Sophien narik pedang tajam dari pinggangnya, ujungnya ngarah ke si Nescĭus.

    “…” Tapi Sophien nggak nusukkin pedangnya ke lehernya. Dia ngerasa agak ragu. Tentu aja, kalo dia Regresi kayak gini, Deculein bakal idup lagi. Kekuatan Regresi yang dirampas iblis kecil ini punya dia, dan pusat Regresi itu juga dirinya sendiri — Sophien Ekater von Jaegus Gifrein.

    Tetep aja, alasan kenapa dia takut itu…

    “Keiron. Apa dia bakal lupa?” Sophien bakal inget Deculein, tapi Deculein nggak bakal inget dia. Dia cuma bakal tetep jadi ingatan Sophien. Hari-hari tak terhitung jumlahnya yang udah dia lewatin bareng dia bakal ilang, dan satu-satunya orang yang ngertiin dia di dunia ini bakal lenyap.

    “Kemungkinan besar.” Sophien masukin pedangnya lagi.

    “Yang Mulia.” Keiron bilang gitu seolah maksa. Sambil ngelirik dia, Sophien ngejawab sambil narik napas.

    “…Nggak perlu ditebas.” Terus dia ngulurin tangan ke si Nescĭus. Esensi Regresi yang udah dia curi pulih cuma dengan naro jari telunjuknya di dahi si tengkorak.

    “Segitu udah cukup.” Sophien nebak waktu Regresi-nya dari besarnya periode itu.

    “Bakal jadi masalah besar kalo tanggal sama waktunya meleset. Anda bakal baik-baik aja?”

    “Ini kekuatanku. Pas aku liat, aku bakal tahu.” Sophien natap Esensi Regresi agak getir.

    “Keiron.”

    “Iya.”

    “…Bukan apa-apa. Kalo aku balik, dosa-dosamu bakal ilang juga kok.”

    “…” Muka Keiron tenggelam berat. Sophien nyengir terus ngepalin tangannya.

    “Sampe ketemu lagi, Keiron.”

    “Iya. Yang Mulia.”

    ─Saat itu juga. Sophien nerima Esensi Regresi dengan tampilan lumayan dramatis. Sinar menyilaukan dari tangannya terus warnain seluruh dunia kayak matahari. Sophien merem bentar buat ngeblok cahayanya.

    Tik-tok- Tik-tok- Dia buka mata denger suara jarum detik berdetak.

    “…?” Dia lagi duduk di meja teh, dua cangkir kopi di meja masih ngepul. Pas dia ngangkat matanya dikit lagi, dia liat seseorang. Itu orang yang berani natap dia lurus-lurus.

    “…”
    “…”

    Sophien natap dia, bales tatapannya. Keduanya diem bentar lagi.

    “…Deculein.”

    “Iya.”

    “…Apa aku manggil kamu?”

    “Bener.”

    “Apa kamu diseret dari perpustakaan?”

    “Iya. Ada apa?” Sophien senyum tipis. Waktunya deket. Kalo 30 menit lagi, Deculein pasti udah masuk ruang bawah tanah Istana Kekaisaran.

    “…” Tapi tawa itu cuma sebentar. Sophien, ngontrol ekspresinya, nanya ke Deculein.

    “Deculein, kamu inget?”

    “…” Deculein nggak ngomong apa-apa. Sophien nanya lagi. Mungkin dia terlalu berharap.

    “Kamu inget?” ‘Lebih dari seratus tahun dan seratus kematian. Kamu masih inget aku? Kalo itu kamu, kupikir kamu nggak mungkin bisa lupain aku.’

    “…Apa?” Tapi, Deculein bales natap. Sophien ngertakin giginya. Dia ganti topik seolah nggak terjadi apa-apa.

    “Bajingan-bajingan Altar.”

    “Tentu aja. Kenapa aku bakal lupa itu?”

    “…” Kenapa aku bakal lupa? Sophien mikir sambil dengerin dia.

    “Kamu tahu, aku…” ‘Aku bisa bertahan karena kamu nemenin aku.’

    “Aku bakal ancurin mereka sendiri.” Jadi, dia nepatin janjinya. Lebih dari seratus kematian, lebih dari seratus Regresi. Biarpun dia nggak inget pengulangan neraka itu, Sophien masih inget. Nilai pengorbanan dan pengabdiannya nggak bakal berubah. Nggak bakal berubah kalo dia udah nepatin janjinya.

    “Jadi… hari ini.” Sophien inget kata-kata yang pernah Deculein bilang ke dia pas ngajak main catur.

    “Ayo main catur.” Alis Deculein kedut tipis. Sophien ngerti emosinya cuma dari reaksi halus itu. Nggak, Deculein ngejelasinnya sesaat kemudian.

    “Anda manggil saya cuma buat main catur pagi-pagi gini?”

    “Jadi? Kamu nolak aku?”

    “…Nggak.”

    “Oke.” Sophien naro papan catur di meja pake Psikokinesis. Dia milih putih terus ngasih Deculein item.

    “Mau mulai sekarang?”

    “Oke.” Deculein penuh percaya diri. Tentu aja, pasti gitu. Selama semua ingatan itu, si bajingan sialan itu nggak pernah kalah.

    Tap- Sophien gerakin pion putihnya satu kotak. Pion item lawannya gerak sesuai. Tap-

    Deculein agresif dari pembukaan, tapi Sophien nanganinnya santai.

    “Deculein.”

    “Iya.”

    “Kamu tahu itu nggak? Nggak peduli berapa kali Regresi diulang, ada skill yang nggak ilang.”

    “Apa itu?”

    “Itu catur.” Deculein, yang dengerin diem-diem, ngangguk.

    “Kayaknya gitu. Biarpun kamu belajar sihir, itu bakal ilang kalo kamu nggak nusuk ulang sirkuit yang bener, dan nguasain skill pedang itu terlalu susah kalo kamu nggak ngelatih badanmu. Tapi bukan cuma catur, pengetahuan lain-”

    “Lupain aja. Siapa suruh kamu nganalisisnya kayak gitu?” Sophien gerakin kudanya liar, melotot ke Deculein.

    “Saya cuma bilang.”

    “…Iya, Yang Mulia.” Deculein gerakin bidaknya pake ekspresi agak bingung. Permainan mereka setelah itu balapan ketat sampe akhir yang sunyi. Kalo Deculein gerak, Sophien bales. Dan kalo Sophien gerak, Deculein bales. Hasilnya singkat.

    “Sialan. Seri.”

    “Iya. Dalem catur, secara teori, ada kemungkinan tinggi seri kalo keduanya main sempurna tanpa kesalahan.”

    “…” Sophien natap Deculein. Deculein lagi nganalisis langkah-langkah di papan catur.

    Aku lumayan jago catur. Biarpun kamu ngabisin seluruh hidupmu buat itu, kamu nggak bisa menang. Kata-katanya dari cermin bergema di telinganya.

    Jadi, bukannya semuanya bakal lebih baik pas kamu ngalahin aku?

    “Nggak.” Biarpun sekarang, biarpun semuanya udah lebih baik, hasilnya tetep seri. Dia salah.

    “Secara teori, iya, Yang Mulia.” Penampilan aristokratis Deculein kerasa agak ironis hari ini. Sophien mikir, terus nunjuk pintu pake dagunya.

    “Udah. Balik sekarang. Mungkin tunanganmu nungguin kamu.”

    “Dengan tunangan… maksud Anda Julie?”

    “Iya. Satu pertandingan cukup buat hari ini.”

    “…Iya. Baiklah.” Deculein nunduk ke Sophien terus berdiri. Sophien pura-pura nggak tertarik terus nopang dagunya pake tangan. Terus, dia ngelirik punggungnya pas Deculein pergi. Krieeet… Dia jalan keluar terus nutup pintu. Sophien nggak kelewatan pemandangan punggung lebarnya yang kelihatan lewat celah.

    “…” Slam-! Pintu ketutup, dan Sophien ditinggal sendirian, mulai mainin papan catur. Terus dia balik badan dan ngeluarin sesuatu: cermin tangan.

    “…Hei.” Dia ngomong pelan, natap ke cermin. “Kamu di sana?”

    Tapi, nggak peduli berapa lama dia nunggu, nggak ada jawaban dateng. Sophien nyender di kursi.

    “Lupain aja kalo kamu nggak di sana.” Huft… Sambil narik napas dalem, dia buka laci terus masukin cermin tangannya. Terus dia naikin gorden. Cahaya matahari masuk lewat jendela kayak kelopak bunga. Dia dongak ke arah langit terus gerak-gerak gelisah. Kebosanan yang nggerogotin pikirannya kayaknya udah ilang sampe tingkat tertentu…

    “Keiron!” Di luar pintu, Keiron ngejawab.

    Iya, Yang Mulia.

    “Aku mau olahraga!”

    ─…? Si cowok bingung itu diem bentar, tapi Sophien buka pintu sebelum dia sempet sadar. Keiron, bingung, ngegerutu terus ngeluarin suara aneh.

    “Kenapa kamu keliatan kayak orang bego?”

    “Oh, um…” Sophien nonjok bahunya. “Ikut aku.”

    Terus dia jalan keluar dengan bangga. Langkah kakinya anggun, nggak ada keraguan atau kemalasan kelihatan. Akhirnya, waktunya Kaisar keluar ke dunia.


  • Villain Want to Live – Chapter 116

    Chapter 116: Sophien (2)

    Begitu aku ninggalin kamar tidur Sophien, aku pindah ke ruang bawah tanah Istana Kekaisaran. Aku keluar praktis sambil lari, tapi ada patung ngehalangin jalanku.

    “Keiron.” Keiron ngangkat matanya natap aku. Ujung pedang yang dipegangnya ngikis lantai.

    “…” Keiron nggak ngomong apa-apa. Tapi, kemarin, Julie bilang kalo lukaku dari pedang. Sejak saat itu, aku udah ngira hal kayak gini mungkin kejadian. Lagian, nggak banyak orang yang cukup kuat buat nembus Iron Man dan juga terlalu cepet buat aku pasang pertahanan.

    “Aku udah mikir dalem-dalem.” Suara Keiron kedengeran rendah, ujung pedangnya ngangkat ke atas.

    “Apa kesimpulanmu?”

    “…Kesimpulannya aku ini ksatria Yang Mulia. Nggak penting buatku dunia mau kebalik atau jalan sesuai kehendak iblis.” Keiron itu ksatria cuma buat Kaisar. Makanya, dia cuma pengen kebahagiaan dan perlindungan Sophien. Dia ksatria secerdas Julie. Nggak, sifat keras kepalanya lebih parah dari Julie.

    “Si cermin udah sumpah sama aku. Dia janjiin aku dunia baru.”

    “…Nggak ada yang lebih bego daripada percaya sama iblis, Keiron.” Dunia baru yang dijanjikan ke Keiron sama si Cermin Iblis… Aku cuma bisa ngebayangin kayak apa jadinya. Mungkin itu dunia di mana Sophien nggak pernah sakit. Dunia di mana dia tumbuh damai dan mimpin Kekaisaran dengan baik hati. Atau mungkin itu dunia cermin di mana orang kidal sama orang nggak kidal kebalik. Gimana pun juga, itu bakal jadi dunia yang sama aja kayak Game Over.

    “Itu bakal jadi akhir. Yang janjiin kamu ini iblis, Keiron.”

    “Nggak. Ini awal baru, bukan akhir. Nggak ada yang lebih penting di dunia ini daripada Yang Mulia. Kalo ada penguasa dunia, itu pasti dia. Dunia nyata cuma ada di mana Yang Mulia ada.” Sampe tingkat tertentu, itu bener. Mustahil nentuin karakter utama di pandangan dunia ini, tapi kalo karakter paling penting itu yang utama, ya Sophien lah, tentu aja. Pas dia mati, game pemain juga bakal berakhir.

    “Kalo ada matahari di dunia ini, itu dia. Saksi hidup ajaib-”

    Bum-! Saat itu, sebuah gada muncul dari deket terus ngehantam samping badan Keiron. Baaaang-!

    Keiron kelempar ke samping gara-gara serangan mendadak itu pas mataku otomatis noleh ke belakang. Seorang ksatria pake zirah baja lengkap nyambut aku.

    “Cepet, pergi!” Dia bersenjata lengkap, nutupin bukan cuma badannya tapi juga mukanya, tapi begitu aku denger suaranya, aku tahu siapa dia. Julie.

    “…” Keiron berdiri, ngelap darahnya yang tumpah, tapi kakinya membeku pas dia coba gerak.

    “Profesor, cepetan!” Suara Julie bergema mendesak dari dalem helm besinya. Keiron ngelepasin kekuatan sihirnya buat ngebakar es Julie.

    “Pergi!” Kalo aku biarin diriku khawatir terus diem aja, aku cuma bakal memperburuk situasi Julie.

    “…Oke.” Aku ngangguk terus lari ke pintu ruang bawah tanah.

    Clank-! Senjata mereka beradu ngeluarin percikan api pas Julie gerak buat ngehadang Keiron ngejar aku. Aku cepet nyampe di gerbang kayu menuju ruang bawah tanah Istana Kekaisaran, lari nurunin tangga curam buat megang kenop pintunya.

    Wuuuush… Cahaya menyilaukan ngisi duniaku.


    …Setelah masuk ke 「Cermin Iblis」, aku ngelihat sekeliling. Aku bisa liat cermin di mana-mana di sekitarku, mantulin wujudku tanpa henti.

    “Hai.” Suara dateng dari belakangku. Aku muter badan ngadepin dia di cermin. Itu Sophien. Nggak, tepatnya, itu si Cermin Iblis yang ngambil wujud Sophien.

    “Aku pinjem gambar ini biar lebih gampang ngobrol.”

    “Aku tahu biarpun kamu nggak jelasin.” Aku ngeliatin dia dari atas ke bawah. “Kamu ngebujuk Keiron pake tampang itu?”

    “Iya. Temen itu ksatria yang bertindak cuma buat Kaisar. Setelah nunjukkin ketulusanku, dia nemuin cara buat bikin Sophien bahagia.” Si cermin nyengir, biarpun senyum di muka Sophien itu rasanya nggak pas.

    “Kamu juga bawa masuk Altar?”

    “Iya.”

    “Kamu nggak pernah niat buat ngidupin lagi dewa mereka.”

    “Iya. Aku cuma mau manfaatin mereka terus buang. Aku kan iblis, lagian.” Kebangkitan Dewa yang dipimpin Altar itu kejadian yang masuk paruh kedua quest utama. Nggak bisa dimajuin atau dihentiin pake kekuatan iblis ini.

    “Sekarang apa?”

    “Apa? Deculein. Duniamu udah tercemar banget. Sophien regresi persis 143 kali, nyebabin banyak retakan.”

    “Retakan.”

    “Iya. Selain Sophien, ada orang lain juga yang udah regresi. Kamu pikir masuk akal manusia bisa balik ke masa lalu cuma gara-gara iblis kecil netesin beberapa tetes roh regresi?”

    “…”

    “Kalo gini terus, kalo Sophien mati beberapa kali lagi, seluruh dunia mungkin ancur.”

    Aku natap cermin yang ngambil wujud Sophien, ngintip ke matanya. “Tapi pas aku jadi dunia, semua orang bisa hidup bahagia. Aman. Tanpa risiko apa pun.”

    “…” Kebencian iblis yang melekat di nadi Yukline naik ke tenggorokanku. Aku pengen cekek dia, tapi aku cuma geleng kepala. Dia lanjut ngomong datar.

    “Kamu nggak mau?”

    “Aku di sini cuma buat nepatin janjiku.”

    “…Janji? Oke, coba aja apa pun. Tapi gimana? Aku nggak bakal pernah bukain pintu buatmu. Kamu bakal kekunci di sini seumur hidupmu.” Dia lipet tangan. Aku mulai ngelirik cermin-cermin yang ngisi ruang di sekitarku tanpa peduliin dia lagi. Aku naro tanganku di permukaan kaca.

    “Kemauanmu nggak perlu.”

    “Kenapa? Ini duniaku.”

    “Karena kamu iblis.” Si Cermin Iblis. Dia iblis, dan iblis sama energi gelap itu nggak bisa dipisahin. Makanya, si Cermin Iblis ngandung energi gelap. Nggak, ruang ini dipenuhin sama itu. Artinya— di dunia ini, aku bisa pake [Pemahaman]-ku tanpa batas.

    Tentu aja, kalo gitu, beban ke aku bakal gede banget. Selain kemungkinan kepribadian Deculein bisa pindah, nyawanya mungkin malah dalam bahaya.

    “…” Biarpun gitu, aku naro tanganku di cermin. Tanpa ragu, aku aktifin [Pemahaman.]

    ─! Ribuan unit mana langsung habis seketika. Terus, sembilan ratus, delapan ratus, tujuh ratus… mana bocor dari nadiku sendiri. Jumlah mana yang ilang tiap detik luar biasa, tapi jumlah energi gelap yang sama diubah lagi jadi mana hampir seketika.

    “…Lagi ngapain kamu?” Kecurigaan warnain suara si iblis. Tapi mataku merem, aku nggak bisa liat mukanya.

    “Tunggu, tunggu.” Suaranya cukup buat aku ngebayangin kayak apa rupanya. Iblis tanpa pengalaman kayak gitu bingung sama tindakanku.

    “Gimana ini… n-nggak!” Reaksinya berubah aneh. Suaranya gemeteran, tangannya megang pinggangku. Tapi kekuatan fisiknya nggak ada. Cermin doang nggak bisa nyakitin manusia.

    “Berhenti!” Makin dalem aku liat, makin dalem aku ngerti. Dan makin aku ngerti, makin putus asa reaksinya.

    “Berhenti—!” Pas [Pemahaman]-ku berlanjut, energi gelap nyelimutin badanku, dan badanku mulai sakit kayak darahku mau muncrat, tapi aku nggak peduli.

    “Jangan, jangan! Berhenti–!”

    Gedebuk—! Jantungku mulai berdebar kenceng, darah ngalir dari mulutku.

    “Kamu juga bakal mati! Kamu tahu itu-!” Aku bisa mati, kayak katanya, tapi aku nggak takut. Egoku nggak selemah itu buat ancur segampang itu.

    “Jangan liat l-lebih dalem lagi—!” Denger teriakannya, aku buka mataku lagi. Pupilku yang mantul di cermin udah berubah jadi ungu. Urat nadi yang nonjol di leherku sehitam akar rambutku.

    “…” Aku noleh ke dia. Dia lagi megangin kepalanya, napasnya berat.

    “Berhenti. Berhenti…”

    “…Beginilah arti janji buatku.” Kata yang udah diucapin nggak bisa ditarik lagi. Aku bakal ngejaganya biarpun artinya mati. Obsesi paranoid, tekad nyaris psikotik. Deculein nggak punya perasaan selain itu.

    Aku bakal gali sampe dasar cermin ini dengan ngaktifin [Pemahaman] sampe akhir.

    “Berhentiiiiiiiiii—!”


    「Episode 3」

    Pas aku buka mata, aku lagi di Episode ketiga, di kamar Sophien. Aku ngelihat kalender yang ngegantung di tengah ruang tamu gede yang kosong. 1 Januari – itu titik awal Regresi Sophien. Aku berhasil [Memahami] si cermin.

    “…Huft.” Tapi, napas yang keluar dari mulutku bikin aku sesek. Nggak cuma itu, urat nadi yang nonjol di seluruh badanku kedap-kedip biru sama ungu.

    [Kelainan Status: Keracunan Energi Gelap Akut Parah]
    [Kelainan Status: Mana Mengamuk]
    [Kelainan Status: Kekuatan Dalam Tak Terkendali]

    Biarpun pake badan Iron Man, itu luka yang mungkin nggak akan pernah sembuh, tapi nggak masalah. Aku ngelihat cermin di kamar Sophien. Permukaannya mantulin Sophien tiduran di ranjang.

    “Yang Mulia.”

    —…! Sophien ngangkat badannya, rahangnya buka tutup kosong pas nyari sumber suaraku.

    “Saya kembali.”

    Hah… Sophien berusaha keras naikin sudut bibirnya jadi senyum. Aku duduk di kursi sebelahnya.

    Ehem. Profesor.

    “Iya.” Kata-kata berikutnya udah cukup jadi kompensasi.

    Oke… senang bertemu Anda. Anda nepatin janji.

    Janji. Itu kata yang entah kenapa bikin hatiku tenang.


    …Meskipun aku dateng dengan sombongnya, sebagai orang di dalem cermin, nggak banyak yang bisa kulakuin. Sihir cermin sama sihir kaca yang udah kupelajari nggak guna. Cuma baca buku yang dibawa Sophien, ngobrol sama dia, terus ngulang latihan napas dalem yang bisa kulakuin. Tiap momen dan tiap napas yang kuambil itu sakit, efek samping jelas dari ngabisin hampir 60.000 mana seketika. Mungkin sebagian jantung atau paru-paruku udah membusuk.

    Cit- Cit- Pokoknya, kami lagi di taman Istana Kekaisaran, di mana burung-burung lagi nyanyi riang. Sophien tiduran di rumput deket situ.

    Profesor.

    “Iya.”

    Akhir-akhir ini, badanku pelan-pelan sakit lagi.

    “Oh ya?”

    …Ngeselin. Sampe kapan aku bakal hidup dalem rasa sakit ini?

    Aku inget apa yang dibilang si Cermin Iblis. Katanya Sophien udah balik persis 143 kali.

    “Yang Mulia.” Apa bakal lebih sakit kalo dia tahu akhirnya? Atau dia bakal nerimanya dengan tenang?

    Hm. Kenapa manggil aku?

    Nyelametin Sophien lebih awal itu mustahil soalnya penyembuhannya udah ditetapin sebagai tugas pasti. Setelah mati lebih dari seratus kali, racun yang nyerang badan Sophien diilangin sama intervensi dunia. Itu keajaiban kebetulan yang disebabin sama Regresi berulangnya.

    “Mau main catur?”

    …Catur?

    “Iya.”

    Catur… kenapa tiba-tiba?

    “Saya jago catur. Biarpun Yang Mulia ngabisin seluruh hidupnya buat itu, Anda nggak bisa menang. Jadi, bukannya semuanya bakal lebih baik pas Anda ngalahin saya?” Aku belajar catur tiap ada waktu luang. Biarpun aku nggak punya atribut [Pemahaman], latihanku udah cukup buat jadi Grand Master.

    Hmm. Sok tahu kamu. Kamu bakal baik-baik aja? Aku gampang belajar apa aja lho.

    “Iya.”

    Kedengerannya bagus. Bawa papan caturnya ke sini! Sophien teriak terus berdiri. –Hei! Nggak ada orang di sini?! Bawa papan catur!


    …Pewaris pertama keluarga Kekaisaran, Sophien, selalu bareng cermin. Cermin tangan yang ngegantung di pinggangnya jadi simbolnya buat para pejabat istana, dan ceritanya soal profesor yang kadang dia omongin bikin khawatir sekaligus nenangin. Mereka khawatir dia mulai gila tapi lega dia bisa ngelupain sakitnya, paling nggak bentar, berkat imajinasinya.

    “Sophien.”

    “Iya, Ayah.” Bahkan di hari audiensi sama Kaisar dan ayah kandungnya, Crebaim, Sophien bawa cermin tangan itu. Crebaim natap dia sambil senyum kecil.

    “Temenmu di cermin baik-baik aja?”

    “…” Sophien gerakin bibirnya bentar tanpa ngejawab. Nggak ada orang di istana yang mau percaya sama dia, dan si temen yang dimaksud nggak mau nunjukkin diri.

    “Iya. Dia baik-baik aja.”

    “Oke. Kalo kamu sama temenmu sehat, aku juga seneng.”

    “…Iya.” Crebaim ngomong ini itu sebelum nawarin cermin tangan baru sebagai hadiah. Sophien nerima cermin itu sopan terus nyelesaiin audiensi. Tapi dia nggak seneng. Lagian, kalo dia mati lagi, cermin itu bakal ilang.

    “…” Sophien mau balik ke kamarnya pas dia sadar kediaman adiknya, Kreto. Setelah liat sekeliling, dia nyelinap masuk. Anak umur sekitar tiga tahun lagi tidur di ranjang. Sophien nyamperin buat nontonin dia tidur, sambil senyum.

    “…Gimana menurutmu? Dia hampir nggak bisa ngomong, tapi lucu kan.” Pas dia ngomong ke cermin tangan, jawaban dateng balik.

    Iya. Adik laki-lakinya Kreto masih kecil banget. Dia saudara tiri, tapi lucu tiap kali Sophien liat dia. Dia salah satu dari sedikit hal di hidup ini yang bikin Sophien senyum.

    “…Kupikir beruntung banget cowok ini nggak harus menderita kayak aku.” Sophien mainin pipi tembemnya sampe Kreto mulai gerak-gerak, mukanya ngerut jadi cemberut.

    “Sekarang, ayo balik. Kalo aku ketahuan, bakal malu.” Sophien neken jarinya ke muka Kreto beberapa kali sebelum pergi. Dia balik ke kamarnya.


    …Kehidupan sehari-hari mereka berakhir di situ. Malem pas Sophien nyolek muka Kreto, dia meninggal gara-gara sepsis. Dia nggak tahan sama kuman bayi tiga tahun.

    ‘Yang Mulia–!’ Tangisan putus asa para pelayannya udah jadi kayak suara latar. Dia meninggal hari itu, terus besoknya, cepet ngelewatin episode ke-4, 5, 6, 7, 8, 9, 10… Sementara itu, keberadaanku nggak bikin dia lebih gampang nanggungnya atau ngejalanin hidupnya tanpa hambatan.

    Sialan! Sialan! Sialan! Pikirannya ancur beberapa kali, dan dia juga sering bunuh diri.

    Pokoknya. Aku bakal mulai dari awal lagi. Pokoknya, pokoknya! Aku bakal mulai dari awal lagi! Apa sih artinya hidup sialan ini…

    Persis kayak gitu sampe Regresi ke-65. Sejak saat itu, dia ngehadapinnya dengan pasrah. Setelah enam puluh lima kematian, Sophien ngabisin hari-harinya tiduran di ranjang.

    “Yang Mulia.”

    —…

    「Episode 66」. Mukanya yang lesu noleh ngadep aku. Terlalu tragis buat ditanggung anak umur delapan tahun.

    “Nggak peduli berapa banyak episode diulang, ada hal-hal yang nggak pernah mulai lagi. Ada skill yang nggak pernah ilang.”

    …Apa itu?

    “Itu catur. Skill caturmu nggak ninggalin kamu pas Regresi.” Itulah alasan aku nyaranin catur. Sophien udah terus-terusan ngasah skillnya, tapi dia belum dapetin keahlian buat ngalahin aku.

    …Oke. Bagus deh buatmu kalo jago. Sophien bales terus tiduran lagi. Nggak berhasil.

    “…” Ngeliatin dia kayak gitu, aku mulai mikir. Berapa banyak episode yang bisa kutahan di masa depan?

    “Yang Mulia.”

    Kenapa lagi?

    Aku sekarat. Fungsi paru-paru sama jantungku udah berhenti lebih dari setengah, dan pembuluh darahku yang terkikis energi gelap ngejepit sarafku, nyebabin rasa sakit tak tertahankan.

    “Bikin sinyal sama aku.” Jadi, aku harus hemat stamina. Aku perlu ngatur waktuku efisien.

    Sinyal?

    “Iya. Sinyal buat manggil aku.” Aku ngetuk cermin beberapa kali. “Kalo kamu ngetuk dua kali kayak gini, aku bakal bangun.”

    Kenapa?

    “Bahkan aku butuh waktu buat tidur.”

    Huh. Aku bahkan nggak bisa tidur gara-gara sakit, tapi kamu bisa. Sophien hari ini masih anak kecil, ngeluh kekanakan.

    “Sebagai gantinya, aku bakal ngabisin semua waktu bangunku sama kamu.” Aku nggak bisa apa-apa. Susah banget buatku buat gerak sekarang soalnya badan bawahku hampir lumpuh total.

    …Oke. Lakuin apa aja sesukamu.

    Aku benci ngakuinnya, tapi aku harus. Energi gelap udah nyelimutin badanku.

    Sebagai gantinya, aku bakal bunuh diri besok. Sophien ngerut, nggak puas. Dia bunuh diri keesokan harinya, dan, tentu aja, dunianya mulai dari awal lagi.

    Sejak saat itu, aku terus nontonin Regresi-nya yang tak terhitung jumlahnya sambil nahan penderitaanku. Hidup berulang, kematian berulang, keputusasaan bergema, segalanya mulai lagi, ilang lagi, mulai lagi, ilang lagi. Penyakit dan penderitaan, kemanusiaan dan segala hal, dunia dan sebab, pikiran dan badan, waktu dan ruang, jahat dan baik, terang dan gelap…

    Saat itu, pas aku mikir semua hal ini sia-sia dan ngambang lewatin tahun-tahun nggak penting dan nggak berarti—

    Akhirnya.

    「Episode 140 」

    Aku sadar kalo waktunya udah tiba.


    Udah Desember, puncak musim dingin. Angin keras dan dingin nyapu benua, dan monster musim dingin nginjek-nginjek nyawa orang sesuka mereka, tapi serbuk sari indah masih nyebar di antara bunga-bunga di taman Istana Kekaisaran. Kehangatan ramah nyelimutin istana.

    “Uhuk, uhuk- bukannya udah kubilang pergi?” Nada yang beda banget sama kedamaian itu, ngomong pake suara pasif kayak ikan busuk.

    “Tapi, Yang Mulia. Anda belum minum semua obat Anda-”

    “Nggak ada gunanya. Aku nggak mau minum. Kubilang pergi sana. Hei Keiron! Usir mereka semua!” Sophien, tiduran di ranjang, ngusir semua pelayannya. Setelah itu, dia berdiri terus ngetok cermin beberapa kali.

    “Tok, tok— Profesor. Anda di sana?”

    Iya. Saya di sini.

    “…Oke. Akhir-akhir ini, aku bertahan anehnya lama banget?” Sophien kaget sama hidup ini. Badannya masih sakit, tapi dia udah nahan Regresi ini lama banget secara mengejutkan. Nggak, dia cuma bertahan aja. Dia nggak punya keinginan buat hidup tapi dipaksa biarpun gitu.

    “Berapa kali aku udah mati?”

    139 kali.

    “Hm… hari ini 31 Desember, jadi besok 1 Januari?”

    Iya. Pikirin kalo semuanya bakal lebih baik kalo Anda bertahan sampe besok.

    “Hmph. Apa?” Sophien majuin bibirnya. Dia nggak punya harapan apa pun. Pikirannya udah ancur puluhan kali terus disusun ulang, sampe dia nggak punya minat lagi sama hidup.

    Tetep aja, rasanya nenangin tahu kalo satu-satunya orang di sampingnya sejauh ini, si profesor, ada bareng dia pas dia Regresi. Dia udah nggak peduli lagi kalo dia cuma ilusi yang diciptain pikirannya yang sakit.

    Yang Mulia.

    Sophien miringin kepalanya polos. “Apa?”

    Saya bakal ngawasin Yang Mulia di mana-mana.

    “…Tiba-tiba?” Dia natap profesor di cermin. Matanya merem.

    Bukan tiba-tiba.

    “…”

    Biarpun saya nggak keliatan bentar… Denger kata-kata itu, sudut hatinya tiba-tiba ngerasa ada awan firasat buruk. Sophien jilat bibirnya.

    Saya bakal selalu ada di sini buat proses Anda.

    “Maksudmu kamu nggak bakal pergi sekarang, biarpun seolah-olah kamu pergi?”

    …Yang Mulia. Boleh saya minta satu janji sama Anda? Sama kayak saya nepatin janji Yang Mulia hari itu.

    Sophien nggak ngomong apa-apa. Tetep aja, si profesor nggak berhenti. Malahan, dia maksa dengan tenang.

    Apapun yang terjadi… jangan bunuh diri.

    “…” Omong kosong macam apa ini? Denger permintaan keterlaluan itu, Sophien manyun.

    “Omong kosong macam apa itu?”

    Hargai hidup Anda… Yang Mulia.

    “Apa ada tempat lain yang harus Anda datengin?”

    Nggak. Profesor di cermin senyum. Senyum lembut tanpa tenaga. Tapi buat Sophien, itu senyum pertama yang pernah dia liat dari dia. Bikin dia diem seribu bahasa.

    Yang Mulia. Sekarang udah malem, jadi istirahat yang baik ya.

    “…” Sophien ngendus terus ngelihat jam tangannya. Udah jam 8:30 malem, waktunya tidur. Kalo dia nggak tidur lebih dari 14 jam sehari, badannya bakal rusak.

    Saya bakal nunggu.

    “…Aku nggak bakal tidur.” Kayaknya dia udah mau ketiduran, tapi dia maksa matanya tetep kebuka lebar. Dia bakal begadang semaleman ngeliatin cermin.

    “Aku nggak bakal tidur…” Sophien tiduran di ranjang terus ngelirik dia ke samping. Untungnya, si profesor ada di sana tiap kali dia liat cermin seolah dia nggak niat pergi. Yah, biarpun dia niat pergi, gimana caranya dia bisa nangkep orang di dalem cermin? Setelah nerima rasa pasrah dan lega itu, dia ketiduran lagi.

    …Dan kayak gitu, hari berikutnya tiba.

    Cit- Cit- Pas dia bangun denger suara kicauan burung.

    “…?” Sophien ngerasa aneh, diselimutin sama perasaan seger beda banget sama yang pernah dia rasain sebelumnya.

    “Hah?” Dia ngejap beberapa kali terus ngangkat badannya. Setelah disiksa sekian lama, dia nggak ngerasain sakit yang biasa dia rasain. Jadi, setelah mikir bentar, ‘apa ini alam baka ya?’, dia nyolek-nyolek badannya. Tapi, nggak ada rasa sakit. Nggak ada rasa sakit sama sekali.

    “…H-Hei! Keiron!”

    Yang Mulia. Anda manggil saya?

    “Tanggal berapa hari ini?!”

    1 Januari, 23. Tahun ke-23 pemerintahan Kaisar Crebaim. Kalo dia udah mati terus Regresi, harusnya 1 Januari, 22.

    “Tahun 23? Kamu yakin?!”

    Iya. Bener.

    Misalkan hari ini 1 Januari, 23. Kalo gitu, kalo gitu… Sophien gemeteran seneng terus nutup mukanya pake tangan.

    “Apa aku sembuh…?” Tiba-tiba, kata-kata profesor kepikiran.

    Iya. Pikirin kalo semuanya bakal lebih baik kalo Anda bertahan sampe besok. Kata-katanya buat mikir kalo besok bakal lebih baik. Sophien megang dadanya yang berdebar terus teriak.

    “Profesor!” Dia nggak jawab, tapi Sophien bergegas ke arah cermin. “…Profesor!” Dia ngirim sinyal yang dijanjikan, ngetuk cermin dua kali. “Profesor! Kayaknya aku sembuh! Kayak yang Anda bilang!”

    Tapi, dia nggak nanggepin.

    “…” Nggak peduli sedalem apa dia natap cermin, nggak peduli sebanyak apa dia nunggu sambil merem.

    “Profesor?” Beda sama puluhan tahun yang udah mereka lewatin bareng, profesor yang seharusnya ngejawab ‘Oh ya’ pake suara dingin dan rendah kayak biasa, nggak muncul.

    Cit- Keheningan nyelimutin dia, cuma dipecahin sama kicauan burung sialan itu.

    “…Profesor?” Sophien manggil dia lagi, suaranya gemeteran. Tapi dia nggak ada di cermin ini atau cermin lain mana pun di dunia. Dia nggak pernah muncul lagi.


  • Villain Want to Live – Chapter 115

    Chapter 115: Sophien (1)

    Julie bangun di ranjang rumah sakit di Istana Kekaisaran. Kaisar Sophien ada di sampingnya, dan di belakangnya ada Keiron, kayak biasa.

    “…” Julie bingung bentar, ngejap sambil ngeliatin mereka.

    “…Ini bukan cuma luka. Ini kutukan, kutukan jahat banget.” Sophien ngejelasin, suaranya sekering pasir gurun.

    Julie, yang lagi nyoba bangunin badannya, berhenti pas rasa sakit nusuk. “Ugh!”

    “Nggak apa-apa. Tiduran aja.”

    “Nggak. Sa-”

    “Kutukan ini. Kudengar kamu dapet pas lagi ngawal Deculein.”

    “…” Julie nggak ngomong apa-apa. Sophien ngeliatin badannya dari atas ke bawah.

    “Aku juga pernah kena penyakit parah dulu. Hidup yang mengerikan. Sakit banget sampe penderitaanku sendiri mulai kerasa tumpul… ksatria, liat mataku.”

    “…” Julie natap mata Kaisar, tapi pupil Sophien nggak ada nyawanya. Nggak ada energi sama sekali di dalemnya pas Sophien nyengir.

    “Kamu bakal liat juga nanti. Aku udah ngalahin satu penyakit, tapi penyakit lain masih nggerogotin aku. Penyakit itu namanya kebosanan.”

    Habis ngomong gitu, dia naro tangannya di dahi Julie. Energi vital mulai meresap ke badan Julie.

    “Yang Mulia. Ini…”

    “Ini rune yang kupelajari dari Deculein. Mantra penyembuhan sih, tapi kutukan itu bukan hal yang bisa kusembuhin. Cuma bagus buat ngilangin gejala sementara aja.”

    “Oh!” Julie cepet-cepet duduk. Nontonin dia buru-buru nyiapin tata krama ksatria yang bener, Sophien geleng-geleng kepala.

    “Kalo kamu maksa lebih dari itu, jatuhnya bukan sopan tapi bego. Diem aja.”

    “Iya.”

    “Lagian, kamu belum sembuh total. Kutukan itu suatu hari nanti bakal bunuh kamu.”

    “…Iya. Saya tahu.” Itu kutukan yang makin lama makin kuat. Rasa sakit nusuk jantung yang disebabinnya sekarang udah jadi rutinitas pagi biasa.

    “Ngeliat kamu ngingetin aku sama diriku yang dulu.” Seolah ngertiin rasa sakit Julie, Sophien bergumam sambil natap bulan di luar jendela. “Aku yang dulu, sama aku yang sekarang… mungkin aku pengen mulai dari awal lagi. Tanpa tahu apa-apa. Ngalupain semua ingatanku… kalo hidup ini udah ancur.”

    Julie kaget denger keluhan sentimentalnya. “Jangan bilang gitu. Nggak ancur kok, Yang Mulia.”

    Tatapan Sophien balik ke Julie. “Kutukanmu nggak bisa disembuhin. Situasinya mirip sama aku yang dulu. Kamu nggak pengen mulai dari awal? Nggak pernah kepikiran hal kayak, ‘Andai aja aku nggak ngawal Deculein waktu itu?’”

    “…” Julie geleng kepala tanpa ngomong apa-apa.

    “Kenapa?”

    “Karena pilihan itu juga punya saya, dan ini hidup saya.”

    “…” Jawaban yang bener-bener kayak ksatria. Keheningan singkat nyelimutin kamar rumah sakit.

    “…Oh ya?” Sophien ngangguk beberapa kali sebelum senyum kecil ke Julie. “Kamu beda sama Deculein.”

    “…Oh gitu ya?” Julie mikirin Deculein, ngerasa agak sedih.

    “Iya. Kalian beda. Deculein hidup seolah nggak ada jawaban salah di hidupnya sendiri. Dia nggak ngakuinnya, seolah caranya selalu jadi jawaban yang bener.”

    “…Anda bener. Profesor emang hidup kayak gitu.”

    “Tapi kalo kamu nerima bahkan jawaban yang salah sebagai bagianmu, kayak kamu, makin banyak jawaban salah yang bakal kamu punya, dan makin banyak luka yang pasti bakal kamu terima. Terus kamu mati.” Sophien ngomong sarkastis, tapi jawaban Julie senyum hangat.

    “Yang Mulia. Biarpun ksatria penuh luka, ksatria tetep hidup. Dan saya seorang ksatria.”

    “…” Sophien melotot ke Julie. Dia kayaknya percaya sama itu, jadi dia ngerasa nggak puas.

    “Oke. Kamu emang ksatria sejati, tapi nggak banyak ksatria kayak kamu.”

    “Makasih pujiannya.”

    “Itu bukan pujian. Istirahat terus pergi sana.” Sophien berdiri, ngibasin ujung mantelnya. Julie duduk tegak terus pamit sopan pas Keiron nutup pintu di belakang mereka.

    Slam-! Setelah itu, Sophien diem-diem jalan nyusurin lorong. Tap- Tap-

    “…Yang Mulia. Anda mau itu?” Sophien berdiri agak lebih tegap pas Keiron nyapa dia. “Kalo Anda nyari awal baru, Anda bisa dapetin.”

    “…”

    “Saya bisa bikin itu terjadi.” Akhirnya, Sophien noleh ke Keiron. Sambil nundukkin kepala, Keiron lanjut.

    “Yang Mulia pantes bahagia.”

    “…Hmph. Siapa bilang?”

    “Siapa pun bakal bilang gini. Kalo mereka tahu Yang Mulia, yang udah mati puluhan kali, menderita puluhan tahun, dan bunuh diri berkali-kali… siapa pun bakal bilang gitu.”

    “Apa?” Sophien ngerasa malu. Keiron biasanya kayak patung, sampe keluarga Kekaisaran bahkan namain dia si Patung. Keiron bahkan nyebut dirinya yang banyak itu kayak gitu.

    “Keiron, kamu nggak kenal aku.”

    “Saya tahu sedikit.” Sophien ngerut. “Biarpun itu kamu, kamu terlalu emosional ngebahas sesuatu yang mustahil sekarang.”

    “Bukan sesuatu yang mustahil kok. Yang Mulia, Altar ada di ruang bawah tanah istana ini.” Mata Keiron berkilat dengan tekad ksatria. “Mereka nyoba ngumpulin dan pake kekuatan Yang Mulia. Kalo kita pake buat ngelawan mereka, Anda bisa balik.”

    “Aku bisa balik?”

    “Iya. Yang Mulia mungkin bisa bahagia juga. Anda bisa lupain semuanya terus mulai baru di dunia baru.” Si Cermin Iblis pengen Sophien, dan 「Altar」 lagi ngumpulin kekuatan Sophien dari dunia di dalem cermin. Keiron mikirin kemungkinan kalo dua hal itu, yang kayaknya punya hubungan simbiosis, bisa dipake buat keuntungan mereka, dunia baru, maksudnya, masa lalu yang bener-bener beda, bisa dibangun.

    Itu terinspirasi dari kata-kata Deculein, yang bilang kalo Cermin Iblis pengen jadi dunia, tapi itu ide yang bener-bener beda dari yang dipikirin Deculein. Di pikiran Keiron, Cermin Iblis bakal jadi dunia baru, dan Sophien di dunia itu bakal balik jadi baru lagi, ngelupain semua ingatan hidup ini. Kalo hidup ini udah ancur, mereka bisa ngerencanain yang berikutnya.

    “Gimana kalo sejarah cuma ngulang dirinya sendiri?” Sophien natap mata Keiron.

    “Saya nggak akan biarin itu terjadi.”

    “…” …Percakapan berhenti. Nggak, waktu kayaknya berhenti, dimakan sama udara menyesakkan dan mandek. Di keheningan itu, Sophien balik badan. Tap, tap. Itu artinya dia nyuruh Keiron pergi tanpa ngomong apa-apa, dan Keiron, yang ngerti maksudnya, membeku lebih kaku dari patung di tengah lorong.


    Udah malem. Balik ke kantor menara, aku tenggelam dalem pikiran tenangku.

    “…Kalo aku bisa ngertiin si Cermin Iblis.” Aku ngelihat ke cermin di meja. Aku aktifin [Pemahaman] ke cermin simpel itu buat nebak sifat dan propertinya. Pas pasir dipanasin sampe suhu tinggi — tentu aja, beberapa proses lain masih ada di antaranya — dia bakal jadi kaca. Kebetulan, tanah sama api itu atributku.

    “Aku butuh info dikit lagi.” Aku berdiri. Buku sihir soal kaca dan cermin bisa ditemuin di perpustakaan Menara Sihir. Aku langsung ngacir ke lift.

    “Ugh!” Pas aku nyampe sana, ada orang ngeluarin suara aneh.

    “…” Itu Epherene. Dengan muka yang nunjukkin kecapekan parah, dia lagi megang secangkir kopi di satu tangan. Dia mundur selangkah tanpa nyapa aku sama sekali.

    Ding-! Lift nyampe.

    “Kayakya nggak berjalan sesuai yang kamu pikirin ya.”

    “N-nggak. Aku cuma butuh petunjuk… terus aku bisa.”

    “…”

    “Aku bisa, um, pokoknya.” Dia bergumam. Pas aku nontonin dia, aku tiba-tiba inget apa yang Ihelm bilang.

    Apa kamu kasihan sama anaknya Luna, yang bapaknya pura-pura sayang sama dia?

    Mungkin… dia bener. Epherene, anehnya dia bikin aku kasihan. Karena Deculein hampir nggak punya perasaan kasihan, ini mungkin serpihan dari Kim Woojin.

    “K-kenapa?” Kayak gitu, cuma ada sedikit orang di dunia ini yang bikin aku ngerasain sesuatu dari Kim Woojin. Sejauh ini, cuma ada tiga: Sylvia, Epherene, sama Yeriel. Julie kebalikannya, jadi bukti terkuat diriku sebagai Deculein. Dia ikatan yang terbentuk dari emosi yang nggak bisa kusangkal.

    “Percaya diri dan komitmen. Dua kebajikan itu cocok buatmu.”

    “…Iya?”

    “Coba terus tanpa henti. Dan, percaya sama masa depanmu.”

    “…” Mata Epherene hampir copot pas aku keluar dari lift.

    Ding-! Aku keluar di lantai satu, langsung ketemu Julie.

    “Profesor.”

    “…” Julie nyapa aku canggung. Dia masih pake zirah ringan, kayak biasanya. Aku nyamperin dia.

    “Julie. Berhenti ngawal aku sekarang.”

    “Nggak.”

    “Apa-”

    “Maaf.”

    “…” Itu cukup buat bikin aku mingkem total.

    “Saya tahu kalo saya punya banyak masalah kecil akhir-akhir ini, yang ngerugiin Anda karena saya pengawal Anda.”

    “…”

    “Saya minta maaf.” Aku sempet bengong bentar. Tapi cepet, aku ngerti maksudnya, dan rahangku tanpa sadar mengeras.

    “Lagian, di masa depan yang nggak terlalu jauh, saya gagal ngelindungin Anda.” Kata-kata tak terhitung jumlahnya lari lewat mulutku terus mati di bibirku. Teriakan tertentu membengkak dari dalem dadaku.

    “Di mata ini, saya masih bisa liat Anda sekarat. Pedang yang nusuk jantung Anda…” Julie nundukkin kepala. Aku nggak bisa ngertiin dia.

    “Profesor, saya ngerti Anda kecewa sama saya.” Kenapa cewek ini, yang nggak bisa cinta dirinya sendiri, sebodoh ini?

    “Saya ngakuin semua kesalahan saya.” Aku pengen bilang itu bukan salahnya. Kita cuma nggak seharusnya bareng.

    “Tapi, tolong, biarin saya nyelesaiin misi pengawalan ini.” Julie lanjut ngomong tegas, megang pedang di pinggangnya. “Saya bakal kerja lebih keras lagi. Biarpun badan saya ancur, saya bakal lindungin Anda. Saya pastiin Anda nggak capek-”

    “Julie.” Aku nggak mau denger lagi.

    “Aku nggak butuh.”

    “!” Napas Julie kedengeran keras. Dia nunduk nyembunyiin kesedihannya.

    “Pergi sekarang. Aku ada kerjaan di perpustakaan Menara Sihir hari ini.” Aku cinta cewek bodoh ini. Aku benci nyangkal perasaan gila ini.

    “Saya bakal nunggu-”

    “Pergi.”

    “…Saya minta maaf.” Jadi, Julie pergi. Dia buka pintu menara terus jalan nyeret kaki di jalan panjang itu. Dia belum sembuh, jadi jalannya sempoyongan.

    “…” Sambil nontonin dia, aku nyenderin badanku ke dinding. Aku naro tanganku di jantungku pas gema Deculein nyebar ke seluruh badanku.

    “Ada apa?” Terus, aku denger suara dari suatu tempat. Pas aku noleh, Epherene lagi berdiri di sana.

    “…Saya bakal bantu Anda.”

    “…”

    “Anda ke sini buat nyelidikin sesuatu kan?”

    “…”

    “Saya Epherene, asisten pengajar Anda.” Apa dia nggak liat pertemuan kami barusan? Atau dia pura-pura nggak liat? Aku narik napas pelan.

    “Kamu punya waktu luang sebanyak itu?”

    “Oh, itu… Jujur! …Saya nggak bisa. Gimana caranya saya bisa ngertiin semua 30.000 halaman dalem sebulan? Itu mustahil.”

    “…”

    “Bukannya itu alasan kenapa Anda ngasih ke saya?”

    Aku jalan diem-diem ke perpustakaan bawah tanah. Terus, Epherene cepet-cepet ngikutin di belakang. Aku nggak repot-repot pelanin langkah. Aku bahkan nggak repot-repot nunjukkin kalo aku sadar dia ngelirik ke samping berkali-kali.

    …Tiga jam kemudian.

    “Ini yang Anda mau?” Epherene lumayan ngebantu. Nggak ada yang lebih nyusahin daripada nyari buku yang kamu mau di Perpustakaan Menara Sihir, di mana ratusan ribu buku kesebar gitu aja.

    “Iya.” Aku pesen semua yang nyambung sama sihir cermin. Si Cermin Iblis itu cermin juga, lagian. Jadi, ngertiin properti cermin secara keseluruhan bakal ngebantu.

    “Apa ada lagi yang harus saya bawain?”

    “Kali ini, kaca. Apa pun yang nyambung sama kaca.”

    “Iya, iya~.” Kaca, kaca, kaca, kaca. Epherene bergumam itu ke dirinya sendiri terus pergi nyari buku lagi pas aku lagi baca.

    …Tiga jam lagi berlalu kayak gitu. Pas pagi tiba-

    “Profesor Deculein.” Seorang Ksatria Kekaisaran yang muncul entah dari mana di perpustakaan manggil aku pake suara serius. Aku lanjut baca tanpa peduliin mereka.

    “Profesor Deculein.”

    “-Ugh?!” Panggilan kedua pake suara agak lebih keras. Epherene, yang lagi tidur di meja, bangun, seuntai iler nyambung ke mukanya. Baru deh aku noleh ke mereka.

    “Ini panggilan dari Yang Mulia Kaisar.”


    …Sophien terbiasa sama segalanya dengan gampang. Gampang belajar, gampang nguasain. Baik dunia ini maupun prinsipnya nggak terlalu susah. Dia bisa nemuin sebagian besarnya cuma dengan nyipitin mata dikit. Gara-gara itu, dia punya kebiasaan nggak mikir terlalu dalem. Makin dia mikirin, makin ngerepotin jadinya dan makin gampang.

    “…” Tapi hari ini, dia lagi mainin cermin tangannya, mikirin ‘itu’ setelah sekian lama sampe pagi dateng. Dia sekarang lagi nunggu seseorang dateng, duduk di kamar tidurnya.

    Tok, tok- Sophien buka pintu pake Psikokinesis. Seperti dugaan, Deculein lagi berdiri di sana.

    “Kamu di sini. Masuk.”

    “Iya.” Deculein melangkah masuk ke kamar tidur, dan para pelayannya nutup pintu di belakangnya.

    “Duduk.” Sophien nunjuk kursi di sebelah ranjangnya. Deculein duduk tanpa ngomong apa-apa.

    “…”
    “…”

    Sophien nuang kopi ke cangkir teh buatnya, dan Deculein duduk lebih tegap. Dia sekarang kelihatan kayak personifikasi etiket.

    “Deculein.”

    “Iya.”

    “Hari ini, aku sempet mikir.” Itu gara-gara Keiron. Keiron, kata-kata bajingan sialan itu bikin dia nyoba hal nakal yang disebut ‘berpikir’ ini.

    “Mikir, aku nemuin ingatan di cermin. Terus terang aja, rasanya kayak nemuin sebutir pasir spesifik di pantai berpasir.” Sophien natap Deculein sambil nyeruput kopinya. “Ingatan jauhku. Ada cowok sok tahu yang ngenalin diri ke aku sebagai profesor.”

    Mata Deculein lurus kayak biasa; itulah kenapa Sophien suka. Dia nggak nunduk, nggak takut, dan nggak terikat sama apa pun selain nunjukkin dirinya yang jujur.

    “Dia bilang dia bakal nemenin aku dan nonton prosesku sampe akhir, tapi dia nggak pernah balik lagi buat kedua kalinya.” Sophien narik napas pelan. “Kalo dia ada di sana. Kalo aja dia dateng sesuai janji.”

    “…”

    “Aku pasti udah bertahan.” Deculein merem bentar terus buka mata lagi. Reaksi itu udah cukup.

    “Keiron nyuruh aku bikin ulang dunia.”

    “…Oh ya?”

    “Iya. Di dunia itu, aku nggak bakal tahu apa-apa, jadi dia bilang aku bisa jadi orang baru. Aku bakal lupain semua rasa sakit yang udah kualamin.”

    “…”

    “Itu tawaran yang menarik banget.” Deculein dengerin diem-diem.

    “…Arti Keiron itu hipotetis. Caranya mikirin aku itu nyentuh. Tapi… kalo aku ngelakuin itu.” Entah kenapa, dia udah ngerti apa yang pengen Sophien bilang.

    “Bukannya itu artinya kalah sama iblis?” Senyum dingin melengkung di sudut bibir Sophien.

    “Aku nggak mau kalah. Sama siapa pun.” Terus dia ngelihat cangkir kopinya. Permukaan tenang itu mantulin Sophien.

    “Tunanganmu, Julie, bilang kalo bahkan jawaban salah itu hidupnya, sementara kamu hidup seolah kamu selalu bener. Orang lain tak terhitung jumlahnya di dunia ini nulis jawaban mereka selain kalian berdua.” Sophien ngangkat kepalanya lagi.

    “Nggak ada orang yang bisa ngubah jawaban yang udah dikumpulin.”

    “Bener.”

    “Iya… Deculein. Aku ngantuk sekarang.” Matanya pelan-pelan nutup. Itu harga karena tenggelam dalem pikirannya terlalu lama.

    “Sekarang, pas aku tidur, pintu ke ruang bawah tanah bakal kebuka.” Sophien setengah merem. Lewat matanya, muka Deculein kelihatan. Muka dingin yang kayaknya nggak bisa tidur sama sekali.

    “Tolong. Karena nggak ada yang ngawasin aku, aku tersiksa.” Dia ngomong terus terang. “Apa kamu bisa nontonin aku dan kematianku yang tak terhitung jumlahnya… di ruang bawah tanah itu? Bisa kamu tetep ada di ingatanku…?”

    Deculein ngejawab tanpa ragu. Dia pastiin dia bakal lakuin itu. Tapi buat Sophien, nadanya udah kabur. Pelan-pelan, kesadarannya ilang.

    “Mungkin puluhan tahun, atau mungkin ratusan tahun… bahkan aku nggak tahu hidup macam apa yang kujalanin. Kamu masih nggak apa-apa…” Suara Deculein nyampe ke dia.

    Iya. Sesuai janji terakhir kali, saya bakal nemenin Yang Mulia lewatin tiap proses. Apapun yang terjadi. Suara yang nyebar seolah tenggelam di air.

    Dan di akhir itu, saya bakal balik ke sini lagi.

    Tapi, kata-kata itu diikuti dengan kepastian.

    Saya bakal hadepin Yang Mulia.

    Sophien nanggepin sambil nguap. Pas dia tidur kayak gitu, Deculein nontonin dia diem-diem terus berdiri. Sekarang, waktunya buat bener-bener nepatin janjinya.

  • Villain Want to Live – Chapter 114

    Chapter 114

    …Sebuah ruang samar di waktu yang hilang. Kilatan logam nembus kegelapan.

    “Profesor!” Julie lari nyamperin dia.

    Badannya penuh bekas luka, tapi nggak ada keraguan sama sekali di ekspresinya. Dia lagi nyender di dinding. Nggak tiduran atau jatoh, tapi berdiri tegak.

    “Luka Anda dalem banget!” Darah muncrat darinya. Sebagai ksatria, badan sama otak Julie gerak secara naluriah. Dia harus ngasih pertolongan pertama, mulai dari identifikasi luka terus cepet-cepet ngontrol pendarahannya. Itu kebiasaan yang udah dia latih selama 20 tahun.

    “Tenang, Julie.”

    “Jangan ngomong.” Jantungnya deg-degan kenceng, tapi nggak ada waktu buat dibutain emosi. Pas dia baru mau mulai penyembuhan sihirnya.

    Hap-! Deculein nangkep tangannya. Julie dongak liat dia, bingung, tapi Deculein malah senyum.

    “…Nggak apa-apa kok.”

    “Nggak mungkin nggak apa-apa!”

    “Kalo aku nggak baik-baik aja…” Dia naro tangannya di pipi Julie. Julie gemeteran.

    “Apa aku sekarat?”

    “…” Julie meriksa luka Deculein dari deket. Beberapa titik vital udah ketembus. Dia ngertakin giginya.

    “…Anda sekarat.”

    Suara gemeteran itu ngebawa balik ingatan Kim Woojin di dalem Deculein. Ingatan yang lumayan lama. Di monitor, adegan pas Julie berhenti napas sama wasiat sekarat Deculein keputer. ‘Sialan-.’

    “Bahkan Iron Man bisa gagal… Julie. Aku udah liat diriku sendiri mati.”

    “Berhenti, berhenti ngomong!” Julie pengen nutup mulut Deculein. Makin dia ngomong, makin banyak darah muncrat, tapi Deculein keras kepala lanjut ngomong.

    “Aneh ya. Masa depan itu mungkin bakal jadi yang paling nguntungin buat kamu.”

    “Profesor, tolong…”

    “Aku tahu, Julie. Ini nggak mungkin jadi akhir.” Kalo dia mati kayak gini, dia nggak bakal bisa nyelametin Julie sama wujud aslinya. Kalo Deculein mati, harusnya di tangan Julie.

    “Demi kamu dan aku.” Dia naro tangannya di bahu Julie. “Kalo kamu bunuh orang yang paling kamu takuti, kita bakal ketemu lagi.”

    “…Profesor.”

    “Inget baik-baik. Kalo kamu bunuh orang yang paling kamu takuti, kita bisa ketemu lagi.”

    “Apa maksudnya…”

    “…” Deculein nggak ngomong lagi. Dia cuma merem.

    “Profesor! Profesor-!”

    Dia nggak nunduk sampe akhir pas dia udah hancur.


    …Julie, yang udah Regresi ke masa sekarang, ngelirik gantian antara Sophien sama Deculein.

    “Julie. Kecuali kamu tiba-tiba gila….” Sophien ngomong, ngetuk-ngetuk lengan atasnya pake jari. “Maksudmu kamu udah Regresi?”

    “Iya. Persis seminggu dari hari ini.” Julie ngangguk mantep. Dia cepet banget nilai, nata, sama ngertiin situasinya. Mungkin karena ingatannya terlalu jelas buat dianggep mimpi doang.

    “Luar biasa. Apa yang terjadi sebelum Deculein mati?”

    “Ada laporan soal iblis-iblis yang gentayangan di ruang bawah tanah Istana Kekaisaran.” Julie noleh bentar. Uhuk-! Uhuk-!

    “Jadi kami pergi bareng ke Istana Kekaisaran…” Darah ngalir dari sudut mulutnya. Julie ngelapnya cuek aja terus lanjut ngomong. “Profesor nyuruh saya jaga pintu masuk ruang bawah tanah. Profesor sendirian masuk ke ruang bawah tanah-”

    “Apa aku mati di sana?”

    “…Iya.” Julie kelihatan susah ngakuinnya. Dahinya udah basah keringet dingin. “Dan… huh.” Ngerasa pusing, dia geleng-geleng kepala terus megang meja. “Terus Yang Mulia lagi tidur. Para pengawal udah nyoba, tapi Anda nggak bangun-bangun.”

    “…Oh ya?” Sophien ngerut.

    “Iya. Uhuk-!” Julie batuk, darah muncrat keluar. Darah itu nodain salju merah dan-

    Gedebuk- Sesaat kemudian, badan atasnya jatoh lemes di salju. Dia pingsan.

    Aku berlutut terus ngangkat Julie.

    “Ada apa ini?” Aku ngerasain demam nyebar dari badan Julie. Aku merem buat [Pemahaman] lukanya.

    “…Lukanya serius. Ini efek samping Regresi… Julie sekarat.” Dia udah ngejalanin proses regresi dari masa depan ke masa lalu. Makanya, mana di badannya berfluktuasi. Tentu aja, kalo badannya kuat dan sirkuitnya kenceng, dia bakal cepet adaptasi, tapi badan sama sirkuit Julie lagi nggak dalam kondisi buat nahan gara-gara kutukan yang nempel di jantungnya. Dengan badan kayak gitu, Julie balik dari seminggu ke depan bukannya sehari atau dua hari. Ini harga buat ngidupin lagi masa depanku.

    “Deculein. Mukamu sekarang keliatan serem lho. Whoa.~” Sophien ngomong sambil ketawa kecil. “Itu muka yang belum pernah kulihat sebelumnya. Segitu cintanya ya kamu sama dia?”

    Aku diem-diem ngecek kesadaran sama denyut nadi Julie. Dia samar-samar sadar dan denger.

    “…Nggak.” Jadi, kata-kataku bakal nempel di ingatannya. “Aku nggak pernah cinta dia segitunya kok. Aku cuma pengen milikin dia aja. Tapi akhir-akhir ini, karena dia lagi sakit kayak gini, lumayan ngerepotin.”

    “…” Bibir Sophien melengkung sinis pas natap aku. Nggak lama, anggota Istana Kekaisaran dateng. Mereka naro Julie di tandu, dan aku nontonin mereka jalan pergi.

    “Deculein.”

    “Iya. Yang Mulia.”

    “Aku jago banget terbiasa sama segalanya. Beneran, segalanya. Pas pertama ketemu kamu, susah buat ngertiin perasaanmu. Sekarang gampang.”

    “Oh ya?”

    “Deculein, kamu bohong sama aku.” Sophien ngomong ketus, dan aku nggak ngebantah. “Aku kecewa banget. Bikin pengen penggal kepalamu sekarang juga.”

    “…Saya minta maaf. Tapi saya mungkin nggak cinta Julie sebanyak yang Yang Mulia pikir.” Sama kayak Julie jadi lengkap gara-gara Deculein, begitu juga Deculein jadi lengkap gara-gara Julie. Aku nggak bisa ngelanggar cerita yang udah ditetapin itu.

    “Mungkin jauh lebih dari itu.” Bukannya aku nggak bisa, tapi karena aku nggak mau. Ego unik Deculein, kepribadian kuat, sama sifat keras kepalanya itu yang pengen Julie.

    “…Hmph. Lupain aja.” Tahu apa maksudku, Sophien ketawa murung. Terus, tiba-tiba aja, dia nyender ke meja kayu.

    “Astaga… tiba-tiba… aku capek, terus ngantuk. Habis negur kamu gara-gara bohong… tadinya aku mau belajar rune dikit, tapi…” Sophien pelan-pelan berhenti ngomong. Aku noleh ke Keiron, yang nyamperin sambil ngangguk. Lagi, pintu ke ruang bawah tanah kebuka.


    「Episode 7」

    Aku masuk ke masa lalu bawah tanah itu. Begitu aku buka pintu, pemandangan yang kulihat adalah taman Istana Kekaisaran. Permukaan danau musim semi mantulin Sophien. Dia lagi duduk di kursi roda. Aku coba nyamperin dia, tapi kayaknya udah telat. Dia udah buta dan tuli, sekarang lagi ngalamin saat-saat terakhir hidupnya. Aku nggak bisa ngasih tahu dia kalo aku udah dateng. Aku nggak bisa ngasih tahu dia kalo aku nggak bisa nepatin janji kami.

    “Yang Mulia–!” Para pelayannya ngumpul di sampingnya, nangis dan manggil-manggil dia. Aku nyamperin dia. Keresek- Aku nginjek rumput terus bikin tanahnya muncrat. Sophien, yang lagi sekarat, nanya pake suara kecil.

    Siapa di sampingku… Pertanyaan yang bahkan nggak bisa dijawab.

    “Iya. Saya di samping Anda.” Momen pas aku ngejawab kata-kata Sophien.

    …Kuharap ada seseorang.

    Dan, momen pas dia bilang gitu, dunianya berubah. Gemuruh-! Getaran ngeguncang langit. Akhirnya, seluruh ruang runtuh terus kebalik lagi. Itu Regresi cepet.

    「·········Episode 13」

    Pemandangan Istana Kekaisaran yang kebentuk ulang nunjukkin Sophien di Episode 13. Dia bunuh diri dengan gantung diri sebelum penyakitnya makin parah. Dan lagi, dunianya berubah.

    「·········Episode 16」

    Sophien di Episode 16. Dia meninggal pas lagi minum obat tradisional dari sekte di kepulauan.

    「··········Episode 21」

    Sophien di Episode 21. Capek sama Regresi, dia nangis terus-terusan terus njedotin dahinya ke batu sampe mati.

    「·········Episode 29」

    Di episode 29, Sophien nolak makan terus mati kelaparan.

    Jadi Episode 33, 37, 40, 43, 48, 53 berlalu gitu aja. Aku nonton lewat cermin tiap momen dia meninggal. Si [Cermin Iblis] ini sengaja nunjukkin kematian Sophien ke aku. Sementara itu, si Nescĭus ngamuk, tapi nggak ada yang bisa kulakuin.

    “…” Sambil ngamatin dan nerima semua kematiannya, aku sampe pada satu kesadaran.

    “…Cermin. Sekarang aku ngerti apa maumu.” Kenapa si Cermin Iblis ini nyimpen dunia-dunia yang ditinggalin? Kenapa dia terobsesi banget sama kematian Sophien? Juga, kenapa ada cermin sebagai medianya?

    “‘Dunia.’” Aku dongak ke langit. “Iya, sebuah dunia. Itu yang kamu pengen jadi.”

    Terus, sebuah pintu muncul di udara. Pintu kayu sederhana biasa yang ngasih tahu kalo jawabanku bener. Pintu itu nyentuh permukaan jalan sepelan salju turun. Aku buka pintunya.


    “Apa yang kamu liat?” Balik ke Istana Kekaisaran, aku jalan nyusurin koridor lantai satu bareng Keiron. Kami lagi ngelewatin yang namanya Hutan Ksatria, di mana patung-patung ksatria pake baju zirah baja berjejer di kiri kanan.

    “Aku sadar sesuatu.” Karena patung ksatria punya tingkat resonansi sihir tertentu, mustahil buat nguping atau ngawasin orang di sini.

    “Apa?”

    “Pertama-tama, Regresi ini muternya cuma di sekitar Yang Mulia aja. Aku hampir yakin soal ini.” Kenyataannya lebih dari itu sih. Mungkin seluruh dunia ini berputar di sekitar Sophien.

    “Dan si Cermin Iblis pengen jadi dunia.”

    “…Dunia?”

    “Iya. Bajingan bawah tanah ini iblis yang jauh ngelampauin akal sehat orang.” Iblis ini punya kemauan, kecerdasan, dan keinginan. Dunia tak terhitung jumlahnya yang Sophien balikin dan tinggalin. Mungkin, yang tumbuh bareng mereka nemuin mimpi seiring waktu berlalu.

    ‘Aku pengen jadi kayak dunia itu juga.’
    ‘Aku pengen orang-orang hidup di duniaku dan lanjutin tiap hari.’
    ‘Aku pengen jadi kenyataan, bukan cermin…’

    Jadi sekarang, dia pengen eksistensi yang bikin dunianya jadi dunia yang beneran. Sophien, bukti dunia itu.

    “Apa dia pengen jadi Dewa?”

    “Lebih dari itu.”

    “Gimana cara kita nyelesainnya?”

    “…” Aku ngelihat tekad kuat Keiron. “Keiron. Apa yang terjadi pas kamu ngikutin si Nescĭus?”

    “Saya terus ngejar, tapi nggak nemu tempat spesifik buat nyudutin dia. Dia lari muter-muter kayak lagi ngejek saya.”

    “Iya. Dia mungkin lagi curang. Si Cermin Iblis pengen jadi dunia sendiri. Dia pengen eksis di alam ini sebagai dunia nyata, bukan cermin.” Ngabulin keinginan itu pilihan terbaik berikutnya.

    “Dia pasti udah nyebarin beberapa Nescĭus ke seluruh benua. Tapi entah kenapa, kayaknya aku tahu di mana bajingan-bajingan Altar ngumpul buat nunggu kembalinya Yang Mulia.”

    “Di mana?” Keiron fokusin tatapannya ke aku, matanya berkobar. Agak nggak nyaman sih.

    “Julie ngasih aku petunjuk.”

    “Petunjuk…”

    “Di bawah Istana Kekaisaran. Bukannya dia bilang kalo iblis itu gentayangan di sana?”

    “…Apa?” Keiron ngerut. Aku ngingetin dia soal sesuatu, beberapa informasi yang udah dia tahu.

    “Bukankah ada pintu lain menuju ke ruang bawah tanah?” Lorong yang nyambung ke Cermin Iblis itu pintu belakang, bukan pintu masuk utama.

    “Di bawah lampu itu gelap, Keiron.” Dulu, gerbang utama tempat Jolang nyoba nuntun aku ke ruang bawah tanah dan gagal. Pintu yang nggak pernah dibuka. Senyum absurd muncul di bibir Keiron.

    “Astaga.”

    “Aku belum tahu udah berapa ratus atau ribu tahun bajingan Altar ngumpul buat ini, tapi kita harus pake duluan.”

    “…Saya tahu maksud Anda. Tapi, Julie mungkin bukan satu-satunya orang yang balik hari itu. Musuh mungkin juga-”

    Aku geleng kepala. Itu kekhawatiran yang masuk akal, tapi mustahil gara-gara sifat iblis bernama Nescĭus.

    “Nggak akan. Si Nescĭus itu iblis simpel, jadi dia cuma bisa ngumpulin dan ngangkut. Buat pake energi yang dikumpulin secara artifisial, kamu harus bunuh dia, tapi kalo kamu bunuh dia, itu pelanggaran kontrak.”

    “Pelanggaran kontrak?”

    “Iya. Iblis kecil kayak Nescĭus biasanya hasil dari kontrak. Dia punya kecerdasan, perasaan, dan kalo kamu nggak nurutin syarat kontrak mereka, dia bakal bertindak di luar batas. Di bawah kelompok yang udah bunuh kaumnya sendiri, mereka nggak bakal ngelakuin apa-apa.”

    “Di luar batas… huh.” Keiron nyeringai, kelihatan agak bingung.

    “Keiron, keputusan bakal dibuat dalem lima hari. Sampe saat itu, bertindaklah senormal mungkin.”

    “Oke.” Aku ninggalin dia terus balik badan. Aku bahkan belum jalan beberapa langkah, tapi, sebelum Keiron nyetop aku.

    “Anda mau langsung pergi? Sebentar lagi, Julie bakal bangun. Anda nggak mau pergi bareng?”

    “…” Kedua kakiku kaku. Aku inget Julie tiduran di kamar rumah sakit.

    “…Nggak perlu.” Gejolak kepulangannya pasti punya efek buruk banget ke Julie. Buat ketemu aku lagi, mustahil ngebayangin berapa banyak nyawanya yang udah dia bakar. Malahan, itulah kenapa aku nggak seharusnya ada di sampingnya. Aku cuma bakal jadi faktor yang memperburuk keadaan.

    “Aku nggak butuh pengawalan Julie lagi. Aku bakal bilang ke Yang Mulia juga. Ksatria yang nggak sehat itu nggak lebih dari beban, bukan pengawal.” Aku pergi. Perpisahan kami bakal segera tiba, dan hubungan kami bakal runtuh dan lenyap.


    “…Hmmm.” Sementara itu, Primienne naro suratnya sambil narik napas. Kesimpulan kejadian lewat informasi yang dia kumpulin juga nyambung sama properti sihirnya, jadi dia berhasil nemuin garis besar samar cuma dalam 28 jam.

    Dia narik linimasanya dari kepalanya terus masukin ke tong mana. Di sini, tong mana itu bingkai persegi panjang yang terbuat dari mana. Kalo kamu masukin ingatanmu ke dalemnya, tong ini bakal ngurusinnya terus ngelanjutin penalaran logisnya terpisah dari pikiranmu. Itulah gimana caranya Primienne bisa jadi wakil kepala termuda di departemennya.

    Wuuuung- Wuuuung- Ingatan sama pikirannya berkelebat kayak pemindai. Pas prosesnya makin lanjut, Primienne masukin lagi ingatannya ke kepala.

    “Ellie.”

    “Iya?” Ellie, yang lagi ngubek-ngubek laci Ruang Ungu di belakangnya, dongak.

    “Kamu bilang Profesor Deculein mau ngerayain hari jadi.”

    “Hari jadi?”

    “Hari jadi pertunangan.”

    “Oh, iya! Dia nggak pernah kelewatan satu pun tiap tahun.” Primienne nyeringai.

    “Yah, sekarang aku tahu kenapa profesor itu minta investigasi Sierra.”

    “Beneran?!”

    “Iya. Masih dugaan sih, tapi aku hampir yakin.”

    “Oh! Kalo gitu, isi laporannya terus kirim ke Profesor.” Denger kata-kata Ellie, Primienne kaku. Terus dia natap Ellie pake mata menyipit.

    “…Laporan?”

    “Iya. Profesor suka laporan. Dia suka nerima semuanya dalem bentuk itu. Dia bilang percakapan tatap muka itu banyak ngomong, ngeludah, dan buang-buang waktu.”

    “Ugh. Dasar anak sialan sensitif banget.” Dia mijet pelipisnya diem-diem. Masukin konten segede ini ke laporan… apa Deculein pikir dia bawahannya?

    “Apa-apaan sih…” Primienne nyiapin segala macem kata kasar buat Deculein dalem hati. “Oke. Aku bakal ludahin laporannya aja deh, biar kamu tahu.”

    “Nggak~, nggak boleh, nanti!”

    “Biarin aku sendiri.” Primienne banting selembar kertas di mejanya terus ngambil pulpen. Barengan sama itu, dia ngubek-ngubek ingatannya.

    Investigasi Sierra diminta sama Deculein. Hasilnya, Primienne nemuin kalo Deculein udah bunuh Sierra. Kasarnya, ‘Deculein bunuh Sierra.’ Motifnya mungkin bales dendam dan juga buat mancing. Tapi, ada rahasia lain lagi yang mungkin cuma dinas intelijen yang tahu.

    “Ellie. Minta dokumen ini ke petugas intelijen.”

    “Iya~, aku mintain.” Dokumen yang diklasifikasiin Level 1 atau 2 nggak bisa dibuka bahkan di Ruang Ungu. Kalo ada yang buka dokumen ini, dia bakal liat keseluruhan ceritanya.

    “Laporan. Profesor itu tahu banget cara bikin orang kesel…” Primienne mulai nulis laporan soal linimasa yang dia temuin.

  • Villain Want to Live – Chapter 113

    Chapter 113

    “…” Aku ngelihatin Ihelm. Penampilannya udah lumayan berubah sejak terakhir kali ketemu dia di Bercht; sekarang, dia kurus dan pucat.

    “Kamu lagi diet ya?”

    “Katanya susah ngehindarin kebahagiaan orang lain. Dunia ini ngebosenin. Rasanya kayak makan ngengat tiap napas.” Ihelm senyum kecut sambil nyoba mancing emosiku. Aku liat mana berkibar di sebelahnya pake [Vision]-ku.

    “Kamu lumayan berkembang ya biarpun ngomongnya gitu.”

    “…Jangan sok tahu deh. Emang kamu tahu apa?” Ihelm yang kukenal itu bukan Karakter Bernama yang spesial banget. Tentu aja, kalo soal bakat sihir murni, dia lebih unggul dari Deculein, tapi masih jauh dibanding banyak Karakter Bernama kuat lainnya. Tapi sekarang, kemurnian mana-nya di luar dugaanku.

    “Hmph. Tapi luar biasa ya. Aku punya wiski, brendi, vodka, tekila, sama semua minuman yang kuinginin dibawa dari kepulauan, tapi wawasan sihirku lebih jernih dari sebelumnya.” Ihelm miringin kepala, nontonin aku pake mata merahnya. “Apa ini juga berkat kamu? Deculein, Profesor Kepala.”

    “Mungkin. Kayaknya aku punya bakat buat ngebuka bakat sihir orang lain.”

    “…Haha.” Ihelm ketawa kecil. Tapi cepet, mukanya berubah jadi kejam.

    “Deculein. Aku masih nggak ngerti kamu, dasar bajingan licik. Kamu mau ngapain sama anaknya Luna?”

    “…”

    “Bukannya diusir dari menara, kamu malah nerima dia jadi asisten pengajar? Padahal kamu punya kesempatan buat ngeluarin dia juga.”

    Aku nyender di kursi tanpa ngomong apa-apa. Sebaliknya, Ihelm condongin badan atasnya ke arahku.

    “Aku udah mikir banyak. Kalo kamu mirip Decalane, orang bisa aja nebak kenapa kamu nerima anaknya Luna. Tapi kamu nggak mirip Decalane.”

    ─Kalau begitu. Pas kesadaran ngasih alarm, ada suara tertentu kedengeran di pikiranku. Itu Idnik.

    …Kukira kamu bakal bunuh anak itu. Soalnya orang pertama yang nemuin anak itu si Decalane.

    Ha-! Ihelm nyeringai.

    “Kenapa? Kamu kasihan sama dia?” Omongannya masuk kuping kanan keluar kuping kiri pas aku lanjut mikir. Aku inget kepribadian Decalane yang kutemuin di buku harian, terus mikirin kata-katanya.

    …Aku ini AI ciptaan Master Decalane. Master ngasih aku [Tes Kelayakan Suksesi Keluarga] sebagai prioritas utama.

    Mantan kepala Yukline, Decalane, nggak puas sama Yeriel maupun Deculein. Hasilnya adalah mereka berdua harus dilenyapin. Terus, apa Decalane nyari kepala keluarga baru? Bukan Deculein atau Yeriel, apa dia pengen talenta lain buat nerusin keluarga bernama Yukline dengan gemilang? Apa kandidat itu Epherene?

    “Kamu kasihan sama anaknya Luna, yang bapaknya pura-pura sayang sama dia? Habis nontonin si bodoh itu, kamu tiba-tiba kasihan, jadi kamu mau jadi bapak sialannya gitu? Atau, kamu pengen badannya?”

    Aku ngelihatin Ihelm, mikir bentar apa aku harus ancurin muka itu.

    “…Hmph. Oke. Apapun itu, pengumuman suksesi ketua mungkin bakal keluar minggu ini.” Ihelm, sambil muter bibirnya, ngomong pake nada ngancem.

    “Kamu sama aku, masa lalu kita. Anaknya Luna, sejarah menara, sama kesepakatan antara Luna dan Yukline. Aku bakal ungkapin semuanya di sidang publik sama interogasi.”

    Apa kesepakatannya, apa masa lalunya. Ihelm ketawa, ngancem hal-hal yang bahkan aku nggak tahu.

    “Ayo mati bareng.”

    Si cowok mau berdiri pas aku ngewujudin Psikokinesis. Aku pegang tangannya erat, ngejepitnya di pegangan kursi.

    “Lepasin.” Ihelm nyoba gerakin tangannya, tapi Psikokinesis-ku nggak bisa dipatahin segampang itu. Si cowok goyangin kursinya terus duduk lagi.

    “Ihelm. Kamu bakal mati sebelum sidang kalo gini terus.”

    “Pfft. Beneran?” Dia nyeringai. “Kamu nggak tahu aja, tapi aku udah mati. Sejak hari kamu ngambil semuanya dariku.”

    “Kalau gitu kamu bakal mati sekali lagi.”

    “Bunuh aku kalo gitu.” Ihelm diri. Aku lepasin Psikokinesis soalnya cara dia megangin kursi sambil nyoba keluar itu konyol banget. Dia lempar kursinya terus pergi, sambil mainin pergelangan tangannya.

    Slam-! Pintu dibanting nutup, ninggalin aku sendirian di kantor suram ini.

    “…” Ditinggal sendirian, aku nata pikiran. Epherene. Luna. Yukline. Decalane. Ihelm. Masa lalu terjalin rumit di sekitarku kayak jaring laba-laba.

    Pas lagi ngitung hubungan-hubungan itu, aku tiba-tiba ngelihat ke luar jendela dan liat pantulan diriku di kaca gelap. Ekspresiku marah diem-diem tapi intens.

    “Alasan aku nerima Epherene.” Aku nanya diriku sendiri lagi pertanyaan Ihelm.

    Alasannya pasti tanpa perlu mikir dua kali. Sekarang atau di masa depan jauh, itu karena dia muridku.


    Bang-! Balik ke laboratorium asisten, Epherene naro tumpukan dokumennya di meja. Cuma seratus bab. Dia ngulangin itu kayak mantra, rasa percaya diri membengkak di dalem dirinya. Dalem hati, dia nyemangatin diri sendiri terus gulung lengan baju.

    Driiin-! Alarm bunyi di papan Ouija. Kaget, Epherene ngelihat layarnya.

    “Oh!”

    [Postingan ‘Ada yang tahu sejarah menara dari 10 sampe 15 tahun lalu’ udah dihapus]
    [Alasan: Melebihi periode]

    Sejarah menara 10 sampe 15 tahun lalu, pas Deculein sama ayahnya kuliah di menara sihir bareng. Dia bahkan ngasih hadiah… Epherene, dengan caranya sendiri, nyoba gali masa lalu antara Deculein sama ayahnya.

    “Apa 100 Elnes terlalu dikit ya?” Yah, harga wajar buat sebagian besar catatan kuliah itu 500 Elnes atau lebih. Epherene benerin harganya pake tangan gemeteran terus nulis postingannya lagi.

    ——[ Ada yang tahu sejarah menara dari 10 sampe 15 tahun lalu? Ada kompensasi. ]——
    : Siapa pun yang tahu sejarah menara dari 10 sampe 15 tahun lalu, kalo kasih info ke aku, aku kasih 600 Elnes.

    “600 Elnes harusnya cukup.” Sekarang mulai belajar beneran!

    “Sekarang… coba kita liat.” Bab pertama. Halaman pertama itu pendahuluan, ngegambarin nilai nyiptain elemen murni baru, plus gambaran umum sihir empat seri yang dibangun berdasarkan itu. Dia baca sekilas terus lanjut ke halaman berikutnya.

    “Hah?” Isinya nggak nyambung. Halaman pertama sama halaman kedua beda. Mulai halaman kedua dan seterusnya, tiba-tiba banyak banget rumus, kayak ada yang ilang di tengah.

    “Apa Profesor ngasih aku yang salah ya?” Epherene naro jari di lembar kertas pertama terus gerakin. Terus, halamannya kebalik sendiri.

    “…Oh.” Baru deh dia sadar ini bukan kertas biasa. Ini kertas sihir canggih. Makanya, panjang satu bab itu… 300 halaman. Artinya, 300 halaman kertas sihir per lembar, dan dengan 100 lembar…

    “…30.000 halaman.” Waktunya sisa kurang dari sebulan, tapi materi yang harus dipelajari 30.000 halaman.

    “Ah…” Epherene seketika ngerasa sakit nusuk punggungnya kayak dipukul palu. Rasanya kayak seluruh dunia jauh banget.


    Sementara itu, di ruang bawah tanah Badan Intelijen.

    “…Hmm.” Ratusan juta kertas, monster yang dijejelin dan disegel, buku sihir ilegal yang ditulis dari abu dan kulit manusia… [Ruang Penyimpanan Catatan dan Bukti Badan Intelijen] penuh sama macem-macem barang. Di ruangan yang disebut Ruang Ungu, dinamain gitu cuma karena wallpaper-nya ungu, Primienne lagi gali informasi soal Sierra.

    “Sialan.” Nyelidikin hidup seseorang itu repot banget. Soalnya jejak hidup pasti karakter itu nggak bisa didapet dari orangnya langsung.

    “Sialan… bukan yang ini.” Hidup manusia berasal dari orang di sekitar kita, bukan diri kita sendiri. Kenapa manusia itu manusia? Karena kita hidup sama manusia, kita hidup di antara manusia, makanya kita manusia. Kalo cuma ada satu manusia di dunia ini, mereka nggak bakal jadi manusia.

    “Yang sepuluh ini.” Makanya, Primienne lagi nyari semua orang di sekitar Sierra. Dengan cara ini, nyusun linimasa seseorang itu kerjaan yang udah dia lakuin sejak masih junior.

    “Ini semua gara-gara bajingan itu.” Sambil bergumam datar, Primienne nemuin surat kebakar di daftar bukti.

    “Apaan nih?” Pertanyaan yang kedengeran lebih kayak ngomong sendiri, tapi agen yang nunggu di samping ngejawab.

    “Oh, itu? Nama resminya Surat Keberuntungan.” Primienne muter matanya terus baca isinya.

    Siapa pun yang baca surat ini bakal dikutuk dalem tiga hari. Satu-satunya cara buat sembuh itu nerjemahin isi surat ini secara akurat ke tiga orang atau lebih. Lagian, kalo kamu nyebarin surat ini ke lebih dari lima orang, hari esokmu bakal penuh keberuntungan…]

    “Bego banget ini.”

    “Orang-orang yang nerima surat itu dikutuk terus mati. Ini surat yang udah bunuh ratusan orang.”

    “Ah.” Primienne cepet-cepet lempar surat itu, ngusapin tangannya ke bajunya.

    “Ini kasus yang dikubur diem-diem di dunia sihir. Udah lebih dari sepuluh tahun, jadi wakil direktur pasti nggak tahu.”

    “…Sihir emang misterius. Dan gila.”

    “Surat itu bukan sihir. Itu iblis.”

    “Iblis. Cuma ini?”

    “Iya. Surat ini dari iblis tipe fenomena.” Primienne ngangguk ke si agen.

    “Yah. Kamu di bawah bajingan itu, nggak, profesor itu dan belajar dengan baik.”

    “Iya. Saya nemuinnya secara alami soalnya semua buku di perpustakaan Profesor kayak gitu.” Primienne noleh ke agen yang lagi ngubek-ngubek Ruang Ungu bareng dia.

    “Mereka juga punya catatan rumah sakit Sierra sama Sylvia di sini ya? Mereka pasti sering bolak-balik rumah sakit pas masih kecil.” Ini tempat di mana nguping atau ngawasin itu mustahil. Tentu aja, ada bola kristal di langit-langit, tapi itu cuma buat rekaman video, jadi nggak bisa nangkep suara. Makanya, ini pas banget buat ngadain pertemuan rahasia.

    “Surat yang ngambil nyawa 358 orang lebih dari sepuluh tahun lalu… penghilangan surat itu dilakuin sama Decalane, kepala Yukline.” Primienne liat catatan soal Surat Keberuntungan.

    “Banyak yang mati ya.”

    “Iya.”

    “Kalo Sierra terlibat kasus ini, kita harus periksa semua 358 orang.”

    “Kayaknya gitu.”

    “Sialan. Aku bukan pelayan sialan.” Sambil nontonin dia ngumpat, si agen diem-diem harus nahan ketawa.

    “Aku ngelakuin apa yang biasa kulakuin pas masih pemula. Kayaknya aku nggak seharusnya nyewa Profesor. Haruskah aku berharap dunia sialan ini ancur besok?”

    “Oh, hei~. Sylvia, cewek itu bakal bisa nenangin Profesor Deculein.” Terus, tanpa ngomong apa-apa, Primienne natap agen yang nyamar itu. Matanya tenggelam dingin.

    “…Kamu suka orang yang bantai kaumnya sendiri ya.”

    “Belum pembantaian kok. Dan, jaga-jaga aja, aku di sana buat nyegah itu kejadian.” Jawaban Allen, nggak, itu jawaban Ellie.

    Cih- Primienne, sambil gigit lidahnya, tiba-tiba inget sesuatu yang kejadian belum lama ini.

    “Ellie.”

    “Iya?” Suatu hari, di restoran Hadekain, Betan nyaranin sup namanya Rotaily. Primienne cuma bilang dia nggak makan Rotaily soalnya nggak suka jamur, tapi Deculein ngomong sesuatu ke dia.

    Primienne, kamu tahu?
    Apa?
    Kita pernah ketemu sekali di Bercht. Kita makan bareng di restoran di sana.

    “Kita pernah ketemu di Bercht sebelumnya.” Ellie ngangguk.

    “Iya. Anda dateng ke Bercht buat liburan. Waktu itu, Anda makan sama Profesor Deculein.” Ingatan Ellie, beda sama orang lain, bisa diandelin. Pikirannya mirip lubang hitam, narik semua informasi dan nggak ngebiarin satu pun lolos.

    “Menu hari itu apa?” tanya Primienne ke Ellie. Pura-pura biasa aja, sedingin dan sekasual biasanya.

    “Steak jamur matsutake.”

    Menu waktu itu steak pake jamur.

    Seketika, suara Ellie sama Deculein bergema seolah tumpang tindih. Tangan Primienne, yang lagi bolak-balik dokumen, berhenti.

    “…Oh ya?” Hari itu, kata-kata yang diucapin Deculein.

    Haha. Bercanda kok. Mana mungkin aku inget… apa yang kumakan udah lama banget?

    “…” Primienne masukin semua catatan soal Sierra ke dalem kotak. Gedebuk! Gedebuk! Gedebuk! Dia ambil semua yang mungkin bisa bantu.

    “Ellie. Kamu nggak bisa selamanya sama Profesor. Makin lama kamu bertahan, makin gede kemungkinan kamu ketahuan sama Altar.”

    “Iya. Aku tahu itu. ‘Agen Ganda’ itu nama tengahku kok.”

    “Kalo kamu tahu, pergi.”

    “Iya! Aku pergi! Lilia Primienne, dadah~.” Allen nyengir terus pake lagi topinya. Terus dengan bangga buka pintu Ruang Ungu dan pergi.

    “…Kamu nggak perlu punya perasaan lebih ke subjek daripada yang dibutuhin.” Sambil bergumam, Primienne naro kotak-kotak itu terus jatohin diri ke kursi.

    “Saham sialan…” Rasanya sakit kayak kepalanya ditusuk. Kehancuran pasar saham sialan itu kepikiran pas suara Deculein gemeteran di telinganya.

    Aku nggak tahu kamu benci jamur.

    “…”

    ─*…Menu waktu itu steak pake jamur.*

    “…”

    Haha. Bercanda kok. Mana mungkin aku inget… apa yang kumakan udah lama banget?

    Tanpa ekspresi, dia bergumam, ngetukkin kakinya ke kotak yang udah dia taro di lantai. “Jamur sialan.”


    Hari ini, aku ngunjungin Sophien sebagai penyihir pengajar. Tapi, tempatnya beda dari biasanya. Bukan lapangan belajar, tapi di taman Istana Kekaisaran.

    “Deculein, di sini.” Taman di timur laut, dengan pemandangan musim dingin abadi. Lapangan salju di mana pohon-pohon gundul serapet duri, dan tanaman perenial yang warnain permukaan jalan jadi putih nggak ada habisnya. Di seberang sana, di sebelah pondok kayu, ada Sophien.

    “Sini, sini.” Kaisar pake mantel bulu sama topi, ngelambaiin tangannya anggun. Sophien hari ini kelihatan jauh lebih baik. Pas aku nyamperin salju, aku mikirin celah antara Episode 2 sama Episode 7, inget janji yang nggak bisa kutepatin.

    “Sini.”

    “Senang bertemu Anda, Yang Mulia. Anda kelihatan baik hari ini.”

    “Iya.” Sophien nyengir. “Tapi hari ini, aku bareng orang yang kamu kenal.” Dia jentikin jarinya. Terus, Julie jalan keluar dari pondok. Cewek itu, yang nganter aku ke Istana Kekaisaran hari ini, entah gimana nyampe taman ini sebelum aku.

    “Akhir-akhir ini, aku sering ngantuk, males, dan nggak sempet ambil pelajaran, jadi kuputusin ambil pelajaran pedang sama sihir barengan.”

    “Maaf saya nggak bisa kasih tahu sebelumnya. Saya juga ketangkep pas lagi jalan pulang.”

    “…” Sebagai ksatria pengajar, bukan ksatria pengawal, Julie punya ekspresi agak kaku. Aku agak bingung, tapi aku ngangguk.

    “Yang Mulia. Mau latihan pedang dulu?”

    “Nggak. Duduk aja yuk.” Sophien nuntun kami ke meja teh deket pondok.

    “Akhir-akhir ini, kebosanan sama kemalasanku udah kelewatan batas. Kupikir penyebabnya dateng dari luar, bukan dalem. ” Sambil ngomong gitu, dia ngelirik Keiron yang berdiri deket pondok. “Keiron, ksatria itu nggak ngomong apa-apa… Profesor Deculein. Jadi, menurutmu kamu tahu penyebabnya?”

    Sophien ngeluarin cermin terus naro di meja. Aku nggak ngomong apa-apa. Kalo aku bilang nggak tahu, itu bohong.

    “Deculein, kasih tahu aku. Apa yang kamu tahu?” Sophien nyipitin alisnya agak tajem. Pas aku ketemu tatapan tajemnya, Julie lagi baca suasana.

    “…!” Tiba-tiba, Julie buka matanya, badannya kaget. Cangkir teh di meja tumpah.

    “…Profesor? Yang Mulia?” Julie natap kosong gantian antara Sophien sama aku. Gerakannya tiba-tiba, tapi entah kenapa, aku pikir aku tahu alasannya.

    “Julie.”

    “…Iya?”

    “Apa yang kamu liat?” Julie ngejap sambil ngelihat sekeliling. Kayak bingung banget, rambutnya ngambang di udara. Pletak pletek- Percikan listrik statis muncrat dari rambutnya.

    “Oh, itu… Kayaknya… aku lagi mimpi. Syukurlah itu mimpi-” Mata Julie dipenuhi kekhawatiran. Aku potong dia tajem.

    “Nggak. Julie. Kamu nggak bisa mimpi di tempat ini. Kamu nggak tidur sedetik pun.”

    Sophien natap Julie pake mata penasaran. Terus, dia ngambil cangkir teh yang jatoh ke tanah terus ngelapnya bersih.

    “Kasih tahu aku, Julie. Apa yang kamu liat, apa yang kamu lakuin, sebelum kamu balik ke sini? Nggak, apa yang kamu mimpiin?”

    “Itu… Profesor…” Julie nelen ludah. Terus, dia ngepalin tangannya yang pake sarung tangan baja di pahanya.

    “Itu mimpi kalo Anda sekarat.” Terus senyum di bibir Sophien melebar. Julie naro tangannya di dada terus ngecek denyut nadinya seolah nyoba bedain apa ini nyata atau nggak.

    “Aku seneng banget…” Julie bersyukur. Tapi aku geleng kepala terus bilang.

    “Nggak. Nggak beruntung kok soalnya itu bukan mimpi.”

    “Iya?” Sekarang Julie udah regresi. Di masa depan tertentu, tepatnya, di masa depan di mana aku bakal mati, dia udah nebas Nescĭus.

    “Kalo kamu nggak jelasin, aku bakal mati kayak gitu lagi.”

  • Villain Want to Live – Chapter 112

    Chapter 112: Universitas Menara Sihir (1)

    Kantor utama Biro Keamanan Imperium, [Equillium].

    Nggak ada hari yang mulus buat Wakil Direktur Primienne. Lebih dari selusin Darah Iblis yang nggak dilaporkan ditangkap tiap hari, dan Betan lagi fokus nyiptain sihir darah jenis baru buat ngidentifikasi mereka. Tapi kepala suku gurun itu baru ngirim salam doang sejauh ini.

    “…Yang ini.” Primienne nanya ke staf Biro Intelijen pake tatapan yang bisa ngebunuh. “Kenapa nama ini ada di daftar?”

    “Ini daftar buat pengawasan dan observasi yang disiapin sama atasan kami…”

    “…” Agen Badan Intelijen Kekaisaran, pake jas rapi, ngejawab formal. Bajingan sialan ini emang selalu kayak gini. Apa mereka emang ngumpulin bajingan doang atau sengaja ngelatih ngebuang emosi pas ngajarin mereka?

    Tapi, nama ini terlalu spesial buat dilewatin gitu aja.

    [Daftar subjek yang akan diobservasi]
    : Sylvia von Yosssepin Iliade:

    “Kalo Iliade benci Yang Mulia, kalian pasti udah gerak buat nahan dia. Ngeliat kalian nyoba ngurusin ini diem-diem,… apa para kasim yang minta?”

    Bahkan Badan Intelijen nggak bisa seenaknya nyentuh keluarga Iliade. Mereka males nunjukkin diri ke publik, jadi mereka nahan diri buat nggak nyelidikin anggota keluarga kerajaan mana pun kecuali perintahnya dateng dari Kaisar.

    “Dinas intelijen lagi ngelakuin pengawasan dan investigasi. Lagian, ini permintaan kerja sama, bukan perintah. Kalo Anda mau kerja sama, kami bakal serahin materi terkait.”

    Primienne ngetuk daftar itu, nandain setuju. Si agen nggak buang waktu langsung nyerahin sisa dokumen yang udah disiapin.

    [Dugaan pelanggaran Pasal 3-3 Hukum Sihir Kekaisaran: Pembunuhan Sihir Tingkat Dua]
    [Dugaan pelanggaran Pasal 8-1 Hukum Sihir Kekaisaran: Penemuan sihir berbahaya tingkat tinggi]
    [Dugaan pelanggaran Pasal 1-8 Undang-Undang Intelijen Kekaisaran: Nemenin mantan kolega Rohakan, Idnik]
    [Penilaian keseluruhan: Kelompok berisiko tinggi yang butuh observasi ketat]

    “Apa si Sylvia ini bunuh orang?”

    “Tepatnya, sihir yang diciptain si pengguna sihir yang bunuh orang. Insiden mirip pernah kejadian di Pulau Terapung, tapi udah diselesain pake hak jaminan yang ngasih kekebalan.”

    “Tapi?”

    “Cuma urusan di Pulau Terapung yang udah beres. Pembunuhan di dalem Kekaisaran itu di bawah yurisdiksi Kekaisaran. Investigasinya masih-”

    “Kamu pikir aku bego ya?” Primienne nyender di belakang kursinya, natap dua agen intelijen yang duduk di depannya.

    “Mau berapa banyak orang yang dia bunuh, nggak ada yang bisa ngehukum orang dengan bakat selevel ini. Kalo dia diasingin ke negara asing sia-sia, cuma Kekaisaran yang rugi kehilangan dia. Dia itu talenta yang bakal bantu Kekaisaran agung dan levelnya yang kalian pengenin banget.”

    Realistisnya, cuma Pulau Terapung, Bercht, atau Kaisar sendiri yang bisa ngehukum penyihir selevel Sylvia.

    “Biarpun gitu, alasan dia diawasin itu gara-gara si Rohakan sama Idnik ini.”

    “Wakil Direktur Primienne, sekarang ini kerjaan Anda juga.” Primienne ketawa menghina.

    “Biarpun ini kerjaanku, nggak efisien kalo aku kerjain sendiri. Fisiologi penyihir itu cuma dimengerti sama penyihir. Kita butuh nasihat dari rekan kita kalo gitu, para penyihir.”

    “Anda kenal seseorang?”

    Dia kenal. Mau butuh dibujuk, ditangkep, atau diinterogasi buat dapetin bantuannya, orang itu bakal jadi orang paling efektif buat ditanyain. Lagian, dia juga faktor risiko yang paling perlu Primienne perhatiin. Tapi, kalo mau ngerekrut orang, harus sopan.

    “Deculein.”

    ••••••

    Lantai 77 menara.

    Primienne ngelihat sekeliling kantor yang dipoles teliti, nyadarin aroma sabun samar yang ngisi udara. Di depannya, di belakang mejanya, Deculein lagi ngelihatin permintaan kerja sama 50 halaman yang dia serahin pake badai dingin nutupin mukanya.

    “Nggak seserius itu kok. Kami bakal bentuk tim pengawasan dan observasi kami; Anda cuma perlu bantu dikit.”

    Alis Deculein naik, tapi Primienne lanjut ngomong tenang. “Mau dia terlibat kejahatan, atau mungkin dia ketemu temen yang salah terus jadi kriminal, kita cuma bakal ngawasin.”

    “…”

    “Bukannya dia bakal masuk penjara. Kita cuma perlu ngedidik dia sebelum dia melangkah lebih jauh. Bakat penyihir bernama Sylvia butuh manajemen dan observasi nasional.”

    Deculein ngambil pulpen, nandatanganin dokumen itu tanpa ngomong apa-apa.

    “Seperti dugaan, Anda kan pernah jadi gurunya.” Kalo Deculein, dia nggak bakal nolak. Primienne nggak salah berasumsi.

    “…Wakil Direktur Primienne.” Alis Deculein ngerut.

    “Iya.”

    “Berhenti.”

    “…Iya.” Primienne nyerahin bola kristal. Itu jalur yang nyambung langsung sama tim observasi khusus Sylvia yang diem-diem dibentuk Badan Keamanan Nasional.

    “Komunikasi bakal dilakuin lewat ini. Bakal ada rapat tim rutin, dan materi terkait bakal-”

    “Saya punya syarat.”

    “Anda udah nandatanganinnya.” …Dia nggak mungkin berubah pikiran tiba-tiba kan? Primienne ngulurin tangan buat ngambil dokumen yang ditandatanganin Deculein.

    “Selidiki satu orang lagi. Ibunya Sylvia, Sierra.” Tangannya, yang lagi gerak-gerak mau ngambil dokumen, kaku. Primienne dongak natap Deculein datar. Bayangan jatuh di mukanya, bikin Primienne kaget.

    “Hidupnya, jejak hidup yang dia jalanin.” Profesor kepala di Menara Sihir Universitas dan kepala Yukline, Deculein. Bukannya dia sedingin es sampe biarpun ada yang nusuk dia, nggak bakal keluar setetes darah pun? Bukannya dia neken Darah Iblis kayak gitu?

    “Cari tahu terus kasih info itu ke saya.” Tapi sekarang, Deculein, kenapa cowok ini… kelihatan peduli sama Sylvia?

    “…Apa itu bantu kerjaan Anda kalo Anda tahu itu?” Dia nggak nanggepin, tapi Primienne nggak maksa lebih jauh.

    “Iya. Baiklah.” Dia lumayan jago nurut.

    ••••••

    “…Aku denger beberapa hal lagi rame di dunia hari ini. Biarpun aku nggak denger, fakta kalo Intelijen Kekaisaran lagi ngawasin kamu itu bener.” Idnik ngasih tahu Sylvia pake tulisan di buku catatan. “Nggak ada yang perlu dikhawatirin. Adrienne sama aku, ini proses yang udah pernah kami alamin semua sebelumnya.” Dia juga baru tahu fakta kalo Deculein bakal gabung tim observasi.

    “…” Sylvia buka matanya tanpa ngomong apa-apa, ngelirik sekeliling pulau tempat dia duduk. Tanah di bawah kakinya luas dan padet, ada sungai kecil ngalir ngelewatin hijaunya tumbuhan. Pulau Tanpa Nama terbuat dari tiga warna primer sihir.

    “Kamu mau ngapain?” Selama tiga hari tiga malem, dia kerja ngebangun pulau itu. Cuma dalam tiga hari, pulau barunya lahir di orbit Pulau Terapung.

    “…” Sylvia nontonin Idnik pake matanya yang dingin dan cekung. Idnik bales tatapannya.

    “Aku lagi mikir.” Raut muka Sylvia nunjukkin penderitaan yang dia rasain, tapi dia nggak pernah hancur.

    “…Aku inget.” Anak yang hidupnya kurang dari 20 tahun dan lebih dari setengahnya dihabisin dalam kesedihan. Perasaan basah kuyup kesakitan dan terbiasa sama itu udah jadi kesehariannya.

    “Aku bakal nyiptain sihir baru.” Dia nggak tahu itu sakit karena udah jadi hal biasa. Dia cepet adaptasi sama kegelapan lembab, nerimanya dengan tenang seolah emang aslinya punya dia.

    “Sihir buat ngawasin dia.” Terus, tatapan Idnik otomatis jatuh ke familiar Sylvia.

    “Ada ksatria pengawal ngejaga Deculein, yang kuat. Tentu aja, familiar-mu itu makhluk yang dibikin bagus banget, tapi—”

    “Aku tahu.” Angin buatan muncul di sekitar mereka, dipanggil sama Sylvia.

    “Aku bakal masukin sihir ke dalem angin.”

    “…Ke dalem angin?”

    “Angin bakal jadi telingaku. Terus Deculein nggak bisa ngehindar. Dia bahkan nggak bakal tahu kalo lagi diawasin.” Langit penuh awan, tapi nggak bisa nutupin bulan purnama di baliknya. Cahaya bulan yang jatuh nyinarin Sylvia.

    “Aku bahkan mungkin bisa nemuin monster yang diciptain pikiran bawah sadarku.”

    …Saat itu, Idnik ngaku dia ngeremehin Sylvia. Di pikiran cewek itu, kayu bakar bernama Deculein bukan cuma nyalain api unggun. Itu bakal jadi api yang nelan langit dan bumi jadi kebakaran hutan gede.


    …Larut malem, di laboratorium asisten.

    Kegelapan mengintai di luar jendela, tapi lampu [Laboratorium Pengajaran] terang benderang. Epherene dan Drent, sama Allen juga, lagi sibuk ngulas pelajaran sebelumnya.

    “Kalo aku ngerti teori ini, artinya aku bisa masukin atribut ini ke sihirku ya?” Drent garuk pelipisnya pake pulpen terus bergumam sendiri, bikin Epherene ngangguk.

    “Iya. Kayaknya gitu.”

    “…Kamu udah ngerti?” Drent ngelirik catatan Epherene ke samping. Dia senyum terus geleng-geleng kepala.

    “Jangan iri. Mau nyontek punyaku lagi?”

    “Nggak, bukannya aku iri…”

    “Kalo kamu nanya jujur, aku pasti kasih tahu kok. Kamu pikir aku nggak mau? Emang aku sejahat itu?”

    “…Hmm. Kalo gitu… boleh pinjem catatanmu nanti?” Drent garuk kepalanya malu.

    “Bayar pake kopi aja. Oh, aku tadinya mau cari angin, jadi aku beli sekalian deh.”

    “Hah? Oh, oke. Nih. Kembaliannya ambil aja.” Selembar uang seratus Elnes keluar dari dompet Drent. Epherene nerimanya sambil senyum getir.

    “Kayaknya akhir-akhir ini, empat cangkir kopi harganya seratus Elnes ya. Pokoknya, aku pergi dulu.”

    “I-iya. Hati-hati ya~.”

    “Hati-hati, Epherene~.”

    Epherene ninggalin menara. Pas dia keluar, dia naik lift, ngelewatin lobi lantai satu, dan udah mau masuk kafe 24 jam namanya Blind persis di luar menara-

    “?” Lewat jendela, dia sadar ada dua orang familiar duduk di dalem kafe yang sebenernya kosong dengan musik gaya jazz ngalir keluar. Deculein sama Adrienne lagi duduk di sana, hadap-hadapan.

    Epherene hampir secara naluriah ngumpulin mana di matanya. Dia ngaktifin Angin dan Awan, teknik yang madetin elemen angin ke mata sama telinga buat ningkatin sensitivitas audiovisual.

    …Kapan kamu mau publikasiin penelitian ini? Udah hampir tiga tahun, nggak, empat tahun lho?! Sidangnya udah deket!

    Suara kuat Adrienne bergema di dalem kafe. Deculein ngejawab sambil nyeruput kopinya.

    Sebentar lagi.
    Penciptaan elemen murni dan sihir empat seri berdasarkan itu! Kedengerannya hebat. Penciptaan elemen murni.

    Mata Epherene melotot.

    Iya. Udah hampir selesai.
    Hmm~, syukurlah. Tapi beneran kamu yang nulis?! Bukannya kamu nyolong kerjaan orang lain?!

    Saat itu, Epherene gigit bibirnya pelan. Mungkin penelitian itu yang disebut ayahnya di suratnya.

    Oh, ngomong-ngomong! Waktuku jadi ketua udah nggak banyak lagi! Mungkin musim dingin ini atau musim semi depan!
    Oh ya?
    Satu kandidat ketua lagi dateng! Tentu aja, kamu kandidat kuat sebagai penggantiku, Profesor Deculein!

    Masa jabatannya sebagai ketua bakal segera berakhir. Dengan kata lain, kenaikan Adrienne ke jajaran Archmage udah nggak jauh lagi.

    Nggak ada artinya di sana! Kalo cuma ada satu kandidat, keliatannya miskin banget! Kita kan dikenal sebagai menara sihir terbaik di benua!
    Siapa itu?
    Orang yang kamu kenal! Keluarga Riwaynde, Monarch Ihelm! Dia penyihir peringkat tinggi khusus keluarga Kekaisaran dan kepala Universitas Dukan. Speknya hebat, jadi dia pantes jadi pesaing! Lagian, dia temen lama, jadi dia bakal minggir sendiri kok! Jangan terlalu khawatir!

    Saat itu juga.

    “Lagi liatin apa?”

    “!” Epherene gemeteran kayak kesetrum, noleh ke belakang.

    “Hmm. Lagi nontonin Deculein ya?” Cowok ini topik pembicaraan mereka, Ihelm.

    “Oh, bikin kaget aja…”

    “Jangan lebay.” Rambut pirang terangnya ngalir di belakangnya kayak baru aja dikeramas, mata merahnya berkilau sayu. Ihelm von Gerian Riwaynde. Dia ngenalin mukanya dari Jurnal Penyihir.

    “A-apa? Anda kenal saya?”

    “Kenal.” Ihelm ngintip mana di mata Epherene, nangkep mantra di sana. “Kamu nggak cuma nonton; kamu nguping mereka. Hm, bapak sama anak sama aja ya?”

    “Apa?” Epherene nunjukkin giginya, tapi Ihelm geleng-geleng kepala.

    “Itu pujian. Nunduk.”

    “…Pujian itu hal yang enak didenger.”

    “…” Ihelm natap Epherene dari atas, dan Epherene bales tatapannya. Mata merahnya nusuk mata Epherene tajem. ‘Kenapa sih bajingan-bajingan ini tinggi semua? Leherku sakit.’

    “Anaknya Luna. Bapakmu bilang apa? Nggak, yang lebih penting. Kamu di bawah Deculein buat bunuh dia atau buat ngelayanin?”

    “… Saya sabar kok, jadi kenapa Anda nggak berhenti nyebut bapak saya?”

    “Oh ya? Biar kuberitahu satu hal deh. Penelitian yang mau dipresentasiin Deculein sekarang itu punya bapakmu.” Ihelm ngelewatin Epherene, ninggalin kata-kata itu. Jubah putihnya berkibar di belakangnya.

    “Apa-apaan kamu…?!” Epherene ditinggal nghentakkin kaki di jalanan kasihan. Terus, dia ngelirik lewat jendela kafe.

    “…Ugh.” Deculein sama si ketua lagi natap lurus ke arahnya. Deculein tanpa ekspresi, tapi si ketua ketawa kecil.


    Jalanan di mana cahaya bulan samar nyebar sedikit demi sedikit, naik ke jalan berbukit deket kafe di menara sihir.

    “…Kamu nggak penasaran? Soal apa yang kita omongin?” Tap, tap- Jalan sebelahan sama Deculein, Epherene bergumam pelan.

    “…” Deculein nggak jawab. Buat Epherene, ngikutin langkah panjangnya aja udah susah banget. Kalo dia keganggu dikit, Deculein udah jauh di depan sebelum dia sadar.

    “Dia bilang penelitian Anda itu punya bapak saya.”

    Deculein nggak nanggepin. Dia bahkan nggak berhenti. Muka Epherene makin memerah. “Kenapa Anda nggak ngomong apa-apa?”

    “Bapakmu nggak bisa nyelesaiin penelitiannya sendirian. Dia nggak punya bakat.”

    “A-apa?!” Kata-kata Deculein bikin amarah muncul di dalem dirinya. Dia lari ngejar langkah Deculein. “Terus, gimana sama Anda? Profesor, Anda bisa nyelesainnya sendirian?”

    “Publikasi penelitiannya bulan depan. Nanti kamu bisa liat sendiri.” Pelan-pelan, panas naik di kepalanya. Punggungnya panas, napasnya jadi susah. Tapi dia nggak bisa. ‘Kalo aku marah, aku kalah.’

    “Oh ya? Kalo gitu saya bakal laporin, Profesor, kalo Anda pencuri. Terus Anda nggak bakal jadi ketua.” Epherene mancing dia, tapi Deculein tetep jalan tanpa ngelirik dia sama sekali.

    “Saya bakal laporin Anda.”

    “Siapa yang bakal percaya sama kamu?”

    “Kenapa nggak? Anda tahu cowok yang baru aja saya temuin. Ihelm atau siapa gitu?” Ihelm, orang yang tahu rahasia Deculein dan ayahnya. Tentu aja, orang itu juga bajingan, tapi kalo Deculein terus kayak gini, dia mungkin milih kejahatan yang lebih ringan.

    “Saya juga nggak mau kayak gini sih. Jadi-” Deculein berhenti, noleh natap Epherene.

    “Epherene. Lakuin apa pun sesuka hatimu.”

    “…” Itu aja. Deculein mulai jalan lagi, dan Epherene, nggak bisa ngomong apa-apa, cuma natap kosong punggungnya.

    “Nggak, Profesor!” Pas dia mau teriak, ‘Terus ngapain coba Anda dukung saya?’, ada suara motong dia dari suatu tempat.

    “Kenapa aku harus percaya sama kamu? Kita kan baru ketemu hari ini.” Epherene noleh cepet. Di semak-semak sisi kanan jalan menanjak, Ihelm sama Adrienne lagi berdiri bareng.

    “Apapun lah.”

    “Hmm~, tapi luar biasa ya! Deculein sama Ihelm. Kalian berdua deket banget!” Denger kata-kata si ketua, Ihelm ngedikkin bahu.

    “Manusia emang selalu sama ya? Yang ada ya monster… hei, kamu. Anaknya Luna. Namamu?” Dia manggil Epherene.

    “…Epherene.”

    “Leaf?”

    “Epherene.”

    “Oke. Mulai sekarang, ambil sikap tegas, Leaf.”

    “Epherene!” Ihelm nyender di pohon. “Kalo kamu bertindak samar-samar, nggak ada yang bakal berubah. Kamu nggak bisa ngapa-ngapain. Sama kayak aku.”

    “Apa yang nggak bisa kulakukan?”

    “Kamu tahu kenapa aku di sini? Aku tahu posisi ketua itu mustahil buatku.”

    “…Terus kenapa Anda dateng?”

    “Aku di sini buat berantem.” Mata Epherene nyipit ragu, ngeliatin muka senyum Ihelm.

    “Kayak sebelumnya, aku nggak mau disingkirin kayak orang bego setelah nggak pernah berantem.” Dia ngomong gitu ngerendahin diri. “Makin aku diem, makin tinggi bajingan sialan itu naik. Kukira dia bakal jatoh telungkup, kelewatan pede. Kukira dia bakal ancur karena kecapekan. Jauh dari itu, dia nggak nunjukkin tanda-tanda mau jatoh.”

    Epherene mingkem rapat. Sampe tingkat tertentu, dia bisa simpati sama cowok itu.

    “…Aku mikir mau bales berantem.” Dia bertekad buat ngejar, tapi langkah Deculein jauh lebih lebar dari dia. Lebih hari ini daripada kemarin, lebih besok daripada hari ini. Dia lari makin jauh tiap hari.

    “Kalo kamu juga punya dendam, selesain dengan bener. Kalo kamu diem aja, kamu bakal jadi tanaman putus asa kayak aku.” Ihelm meringis terus pergi. Sebaliknya, si ketua nyamperin terus bisik di telinganya.

    ─*…Orang ini, Ihelm. Dulu, dia deket sama Deculein, tapi dia kesingkir pas perebutan faksi. Dia kehilangan penelitian sama pencapaiannya. Dan, dia juga suka sama Ksatria Julie. Sekarang sih, yah, dia punya tunangan lain.*

    Epherene ngerut dikit. “Terus kenapa Anda milih orang itu jadi kandidat Anda?”

    Adrienne buka lengannya terus senyum cerah. “Seru!”

    “…Anda bakal segera jadi Archmage lho.”

    “Makanya aku ngelakuin ini~.” Si ketua, yang ngejawab gitu, punya ekspresi getir entah kenapa. “Begitu aku jadi Archmage, aku bakal ninggalin benua.”

    “…Kenapa?”

    “Archmage nggak boleh terikat! Tentu aja, aku bisa ngunjungin Kekaisaran sama Menara Sihir sesekali, tapi kalo aku nempel terus, orang lain nggak bakal suka!”

    Wuuush- Angin malem musim panas muter ngelilingin dahan, bikin daun-daun goyang pelan. Epherene lagi natap bulan di langit jauh itu.

    “…Jadi kenapa kamu nggak jadi aja? Archmage, maksudku.” Tiba-tiba, masa depan terpantul di bola terang itu. Epherene di masa depan jauh. Dia nggak bisa inget detailnya, tapi dia pikir dia penyihir yang lebih karismatik dan kuat. Tapi Epherene yang itu kelihatan sedih entah kenapa.

    “Itu namanya ninggalin kerjaan.” Epherene noleh ke Adrienne lagi. Beda sama Deculein, direktur pendek ini nyaman dihadepin langsung.

    “Kamu harus pastiin kamu punya tanggung jawab sepadan sama bakatmu. Huhu!” Adrienne senyum terus balik badan. Epherene nontonin dia bentar lagi.


    Keesokan harinya, kantor Profesor Kepala.

    Epherene dapet telpon dari Deculein pagi-pagi buta.

    “…” Agak gugup, nggak, dia gugup banget. Begitu bangun, dia langsung disuruh lari ke Deculein. Glek- Epherene natap Deculein, yang lagi duduk di belakang mejanya, ngulang kejadian semalem di kepalanya.

    “Ambil ini.” Bang-! Setumpuk dokumen tebel, sekitar 100 halaman, mendarat di meja. “Ini penelitian yang kuomongin. Iya, ide bapakmu. Sebagian ada di sini.”

    “…Oh! Jadi?”

    “Sampe sidang di bulan Oktober, kalo kamu bisa ngertiin ini, kalo kamu bisa ngewujudinnya sepenuhnya, aku nggak bakal publikasiin makalah ini. Aku bakal balikin ke kamu.”

    “…!” Mata Epherene melotot. Deculein nanya datar.

    “Kamu mau nantang aku?”

    “Oh, um!” Nggak ada lagi yang perlu diminta. Ayahnya pengen dia ngelanjutin penelitiannya. Epherene buru-buru nyamperin terus masukin tumpukan kertas itu ke tasnya.

    “Iya! Ini yang kuharapin!”

    “Pergi.” Dia bilang gitu terus buka pintu, tapi ada orang lain di luar: Ihelm. Dia ngangkat alis.

    “Oh. Kamu dateng duluan ya, Leaf.”

    “Namaku Epherene!” Gedebuk– Dia nyenggol bahunya pas ngeloyor keluar.

    “Apa…” Ihelm natap Epherene bingung, terus natap balik ke dalem kantor Profesor Kepala. Di dalem, Deculein lagi duduk dengan sikap sempurna dan aristokratis.

    “…Profesor Deculein. Mau kita latihan interogasi silang karena kita berdua kandidat posisi ketua?”