Chapter 121: Sidang (1)
Kegelapan malam pecah persis sebelum meleleh, dan cahaya biru pagi buta merembes masuk. Ketua Adrienne narik napas. “Fiuuh…” Dokumen-dokumen yang kesebar di mejanya itu tesis Deculein sama kesepakatan dari empat pilar dunia sihir. Dia manyun sambil megang salah satu dokumen.
[Bercht, Pulau Terapung, Gunung Berapi, dan Meja Bundar, yang ngebentuk keseimbangan dunia sihir, udah nyampe kesepakatan umum buat pertama kalinya sejak Demakan.]
Gunung Berapi itu nama kehormatan buat para Abu. Nggak peduli seberapa mereka direndahin dengan dipanggil Abu, bener kalo kekuatan mereka mainin peran besar di dunia sihir, jadi pendapat mereka diakui penting buat acara besar ini.
[…Kemajuan sihir yang ditunjukin Adrienne Spartinza. Pencarian mereka akan kebenaran, ketekunan mereka dalam penyangkalan diri dengan jalanin cara lama, ngehormatin dan kagumin pencapaian sihir mereka yang dicapai lewat kerja keras…]
Dia baca sekilas bagian-bagian yang penuh retorika terus baca paragraf terakhir. Dia baca kesimpulan yang dicapai seluruh dunia sihir soal penyihir Adrienne.
[Adrienne Spartinza diakui sebagai Archmage kedua yang ngelampauin alam sihir ini dan bakal tetep abadi lewatin sejarah benua. Upacara kesetaraan di… ]
Archmage peringkat Abadi. Setelah Demakan, Archmage kedua kayak gitu.
“…Adrienne II?” Adrienne manggil anak anjing di sebelahnya.
–Guk! Guk! Dia gendong si anak anjing pas dia lari cepet nyamperin. Dia nepuk-nepuk punggungnya sambil senyum kecil.
“Sekarang… aku resmi bukan manusia lagi.” Adrienne diakui bukan cuma sama Bercht dan Pulau Terapung tapi juga sama kelompok-kelompok super tertutup kayak Abu sama Meja Bundar. Maksudnya, bakat sihir murni, pencapaian, sama kekuatannya aja udah ngebawa ke kesepakatan umum yang dicapai seluruh dunia sihir. Archmage abadi itu, emang sifatnya, makhluk yang luar biasa hebat.
“Orang-orang bakal segera dateng. Mereka bakal lempar banyak pertanyaan ke aku.”
–Guk! Guk!
“…Aku harus segera pergi. Aku nggak bisa tinggal lama.” Dunia ini seru banget. Deculein. Julie. Decalane. Louina. Glitheon. Sierra. Cynthia. Idnik. Rohakan. Zeit. Ihelm. Kreto. Ganesha… Dia inget banyak nama sama muka yang pernah ngehibur dia.
“…” Adrienne nyamperin jendela terus natap ke bawah ke tanah di sekitar menara. Belum jam enam pagi, tapi wartawan udah pada ngumpul.
“…Kalau gitu!” Dia senyum cerah ke Adrienne II di pelukannya. “Aku bakal cepet balik kok, jadi tungguin aku ya~!”
–Guk! Guk! Dia ngejawab cerah.
Pagi buta. Orang tak terhitung jumlahnya dari seluruh benua ngumpul di menara. Sementara wartawan ada di barisan depan, mahasiswa, penyihir, sama ksatria dari Universitas Kekaisaran semua nontonin pemandangan itu dari deket dan jauh.
—Apa masa jabatan Anda berakhir tahun ini?!
“Iya! Kupikir bakal selesai musim dingin atau mungkin musim semi; terus aku bakal serahin!” Satu-satunya fokus dari banyak kamera itu si ketua, Adrienne. Secara resmi nglaim peringkat Abadi, dia sekarang dikubur di antara orang-orang. Tentu aja, itu prosedur yang diharapkan semua orang di benua, tapi pengalaman nyaksiin momen bersejarah itu pake mata kepala sendiri itu langka.
—Kami tahu ada dua kandidat buat ketua berikutnya. Bisa ceritain prosesnya?
“Nggak banyak kok! Aku cuma bakal pilih yang lebih baik dari dua itu!”
Solda Epherene nontonin pemandangan itu dari lantai tiga menara. Dia bisa liat lebih jelas dari dalem daripada luar, yang rame sama kerumunan orang, dan dia bisa denger wawancaranya.
—Makalah Mage Ihelm yang baru dipublikasiin ‘Investigasi Diam Sihir Bantu dan Jalur Reformasinya’ jadi topik diskusi di dunia sihir tiap hari. Apa pencapaian individu kayak gitu bakal direfleksiin dalem pemilihan kandidat berikutnya?
“Oh! Iya, tentu aja! Aku baca tesis Ihelm itu juga! Bagus banget!” ‘Aku juga baca makalah itu-,’ ‘Aku suka-.* Tiap kali dia ngomong sesuatu, apa aja, para wartawan sibuk nulis soal itu.
—Profesor Deculein juga tesisnya bakal segera dipublikasiin!
“Oh~, iya! Apa?! Profesor Deculein udah ngumpulinnya!”
“…!” Saat itu, telinga Epherene naik. Dia ngeremes cangkir kertas yang dia pegang, untungnya baru aja selesai diminum.
“Dia pastiin daftar sebagai penulis!” Adrienne nahan ketawa pas ngomong gitu. Cara dia ngomongnya narik telinganya, bikin Epherene ngerasa aneh.
—Gimana itu?
“Yah! Aku nggak terlalu ngerti sih! Dampaknya bakal gede, tapi itu cuma teori!”
—Maksud Anda itu nggak terlalu bagus…?
“Nggak! Sama sekali bukan! Ihelm ngerjainnya solid, dan Deculein….” Adrienne mikir bentar seolah milih kata-kata yang pas sebelum ngangguk.
“Oh, potensinya gede banget! Masih teori sih, tapi kalo teori ini beneran, sihirnya bisa diterapin!”
Klik-klik-! Klik-klik-! Kilatan terus-menerus dari kamera nyinarin kerumunan. Buat Epherene, yang fokusin semua perhatiannya ke mulut Adrienne, suara tak terhitung jumlahnya dari para wartawan cuma gangguan.
“Kalo itu kejadian!” Adrienne ngangkat tangannya. Saat itu, waktu kayaknya berhenti pas semua orang fokus ke dia. Sambil nikmatin tatapan tak terhitung jumlahnya, Adrienne diem bentar lagi buat nambah drama sebelum lanjut.
“Kupikir Profesor Deculein bakal jadi Tetua.”
“?!” Tetua. Mata Epherene ngancem mau copot dari tempatnya. Para penyihir di menara, yang nontonin wawancara bareng dia, nunjukkin reaksi mirip.
—Kalo Anda bilang tetua, maksud Anda Tetua di alam sihir?
“Iya!” Di dunia sihir, seorang Tetua berfungsi sebagai asal mula aliran teologi baru — maksudnya, mereka orang yang nyiptain aliran sihir baru. Contohnya, kepala Sekolah Dukan itu Ihelm, tapi Tetuanya Dukan, yang meninggal 50 tahun lalu.
—Maksud Anda Profesor Deculein bakal jadi asal mula aliran baru?!
“Ada kemungkinan~! Tapi tesisnya masih susah banget! Aku juga masih nggak ngerti! Aku harus pergi belajar!”
“…” Epherene ngertakin giginya …Tetua? Apa dia denger itu? Deculein bakal jadi Tetua? Apa si Ketua yakin soal itu? Tesis macam apa itu? Kalo bahkan si Ketua aja susah ngertiinnya…
Semua suara gemuruh di dalem menara itu nyakar sarafnya. Tawa sama obrolan di antara mereka bikin dia makin kesel.
“Tetua…” Epherene bergumam kosong, tenggelam dalem pikirannya bentar. Kalo Deculein jadi Tetua, gimana kalo, pas terbang gemilang pake pencapaian ayahnya, nama ayahnya malah terkubur di dasar? Cuma ngebayanginnya aja udah bikin dia mual kayak ususnya dipelintir.
“…” Epherene ngeluarin surat. Kalimat pertama – ‘Kusiapin penelitian buatmu-‘ – ditandain pake tulisan tangan ayahnya. Dia baca kalimat itu lagi terus natap kertas itu pake mata kosong.
“Iya! Ada sesuatu yang spesial banget soal tesis itu! Pertama, aku bakal selesain inspeksiku terus ngumpulinnya ke Pulau Terapung~!” Wawancaranya masih berlangsung. Tapi, penelitian yang dipercayain ayahnya ke dia punya orang lain selain mereka.
…Hari ini, aku diganggu wartawan sejak naik mobil sampe kerja, berkat rumor ngumpulin tesis yang diungkapin Adrienne.
—Anda berencana jadi Tetua?
—Anda mau namain alirannya apa?
—Sebagai kandidat kuat ketua, tolong kasih sepatah kata!
—Meja Bundar nggak bakal diem aja.
Pertanyaan tanpa konteks terbang masuk dari luar jendela mobil, dan aku nyaris nyampe lantai 77 menara dengan kameramen kurang ajar ngejar di belakangku.
“Profesor!” Allen, ngeliat aku di lorong, lari nyamperin. Aku masuk kantor tanpa ngomong apa-apa. Allen ngikutin, megang gulungan kertas.
“Profesor!”
“…Apa.” Pas aku noleh ke dia sambil ngelepas jas pake Psikokinesis, dia batuk – Ehem. Terus-
“Apa tujuan Anda jadi ketua?”
“…” Aku natap dia diem-diem. Allen ngelirik sekilas kertas yang dipegangnya.
“Anda terlalu lama jawabnya.”
“…Lagi ngapain kamu?”
“Ini pertanyaan umum dari sidang. Aku nulisnya-”
“Cukup.”
“Iya…? Bukannya kita butuh persiapan kayak gini? Penyihir Ihelm juga lagi nyiapin sama keluarga Kekaisaran.”
“Nggak perlu.” Mungkin kalo Deculein asli, daripada nyiapin ini, dia pasti lebih tenggelam dalem kerjaannya buat dorong Ihelm ke jurang kehancuran.
“Tetep aja…”
“Kubilang cukup.”
Tok, tok- Pintu kebuka bareng ketukan.
“…Profesor. Anda di sini.” Itu Epherene. Dia nyamperin aku diem-diem terus naro kertas-kertasnya di mejaku. Caranya nundukkin kepala terus langsung balik badan beda dari biasanya. Dia terkulai kayak spons basah, netes tiap langkah.
“…” Aku nggak cukup tertarik buat nanya kenapa. Aku nggak tertarik sama sekali. Pasti cacat kepribadian.
“Epherene. Ada apa…?” Allen, di sisi lain, agak beda.
“Allen.”
“Oh, iya?” Dia natap aku pake ekspresi pura-pura khawatir.
“Sekarang pergi. Aku ada kerjaan.”
“Oh, oke. Dan gimana sama itu… tanya jawab yang diharapkan.”
“Aku cek ntar kalo ada waktu.”
“Yep! Semangat, Profesor!”
Adrienne itu ketua Menara Sihir. Maksudnya, dia kepala para direktur. Ada tiga belas anggota, termasuk dekan universitas sama penghubung Kekaisaran, yang giliran jadi dewan direktur buat Universitas Kekaisaran.
“…Selamat, Ketua.” Mereka nawarin rasa hormat tertinggi ke si Ketua. Buat Adrienne, yang mau jadi Archmage, otoritas Kaisar bahkan nggak bisa nyampe ke dia lagi. Dia bakal jadi makhluk tak tersentuh, paling nggak pas dia ninggalin menara.
“Makasih! Silakan duduk!” Adrienne ketawa kecil terus nyuruh para direktur duduk. Mereka dikumpulin di ruang konferensi khusus lantai 100 menara di bawah tema nyewa ketua sukses.
“Ihelm sama Deculein. Dua-duanya orang berbakat yang cocok sama posisinya, tapi yang paling kuat itu Deculein, yang udah kerja buat menara hampir sepuluh tahun.” Salah satu dari tiga belas direktur, Drumman, maju sebagai presenter. Adrienne ngangguk setuju.
“Iya, yah! Bener! Tapi kita nggak pernah tahu apa yang bakal kejadian! Pertama, kita harus selesain evaluasi kandidat setelah sidang!”
“Anda bener. Sidangnya dijadwalin Senin dua minggu lagi.”
“Hmm~, bagus kalo dilakuin cepet! Kalo ada yang buruk, kita bakal tahu langsung! Panggil mereka keluar! Voting sama rapat final harus dateng setelah itu!” Semua orang kayaknya setuju. Si Ketua lanjut ngomong seneng.
“Tapi, apa dua kandidat itu ngajuin Aplikasi Saksi di sidang?!”
“Iya. Penyihir Ihelm ngajuin total tiga referensi, dan Profesor Deculein nggak punya.”
“Dia nggak punya?!” Adrienne nunjukkin keterkejutannya.
“Iya. Tapi, paling nggak satu orang dibutuhin, jadi kupikir Profesor Louina atau Profesor Relin bakal maju.”
“…Yah. Kasih aku daftar itu.”
“Ini” Direktur Drumman nyerahin amplop. Karena harus dirahasiain, itu barang yang disegel sihir.
“Mereka nggak bisa liat siapa ngajuin siapa sebagai referensi kan?”
“Iya. Itu prinsip buat diungkapin pas hari H.”
“Oke.” Sambil ngangguk, dia liat daftarnya, ngecek nama-nama.
“…Hah?” Apa dia salah baca? Dia kucek matanya terus liat lagi. Sama aja.
“Ini…” Adrienne natap dewan, nunjuk jarinya ke baris tertentu.
“Iya. Kami juga lumayan kaget sih. Siapa sangka kalo pendatang baru yang udah di menara kurang dari setahun bakal ngajuin?” Denger kata-kata mereka, Adrienne ngejap beberapa kali. Kayak ikan, dia diem-diem gerakin mulutnya naik turun, terus tiba-tiba-
“…Pffft!” Senyumnya keluar entah dari mana bareng tawa keras. “Hihi! Ahaha! Ini… pfffufu!” Kayak anak kecil seneng atau balon kempes, Adrienne baca ulang [Aplikasi Saksi].
“Ahahaha…!”
Jadwal sidang Menara Sihir Kekaisaran juga diumumin di Istana Kekaisaran.
“Kandidat ketua….” Sophien guling-guling di ranjang, natap dokumen ngumumin sidang buat Deculein sama Ihelm. Keiron ngangguk.
“Iya, bener.”
“Hmmmm…” Kaisar mikir, ngelus dagunya. “…Hmm.” Politik sama taktik macam apa yang bakal mereka pake? Serangan macam apa? Lumpur macam apa yang bakal mereka lempar? Bakal jadi pertandingan menarik banget, cuma mikirinnya aja udah.
“Bagus. Aku bakal pergi juga.”
“…Iya?” Sophien nyengir ke Keiron. “Aku juga bakal hadir.”
“Ah. Maksud Anda sebagai kucing?”
“Nggak. Langsung. Secara pribadi.”
“…” Keiron masih belum terbiasa sama sekali sama Sophien yang sekarang, yang baru-baru ini mulai kerja di luar.
“Kalo ini sidang ketua berikutnya, cukup buatku buat hadir. Menara itu dulu punya aku kok, lagian.”
“…Kehadiran Yang Mulia aja udah bisa bikin situasi nggak seimbang.” Keiron nyatain keberatannya dengan semangat, bikin Sophien nyipitin mata ke dia.
“Kenapa?”
“Karena, tentu aja, Deculein itu penyihir pengajar Yang Mulia.”
“Hah, bener. Deculein penyihir pengajarku, tapi Ihelm juga penyihir langsung di bawah keluarga Kekaisaran yang udah kutemuin puluhan kali. Masalahnya apa? Kenapa pendapatku nggak boleh direfleksiin?”
“…”
“Menara itu punya aku. Punya aku, bukan punya siapa-siapa. Hah? Punya aku.”
“…”
“Ini soal nemuin orang buat mimpin barang milikku. Bukannya aku harus hadir?”
“…Iya. Saya nggak mikir sampe situ.” Keiron ngangguk sambil narik napas. Kaisar pemalas, sebaliknya, nggak narik keputusannya begitu udah dibuat.
“Hmph!” Sophien nyeringai.
…Selama sepuluh hari itu, topik diskusi di menara semuanya soal sidang. Kenaikan Adrienne ke posisi Archmage itu hal wajar, jadi sidang Ihelm sama Deculein, yang agak lebih nggak pasti, narik perhatian.
“Apa bakal Ihelm yang muncul entah dari mana atau Profesor Kepala Deculein ya? Sekarang, 80% orang bilang Deculein yang pegang keuntungan.” Julia merenung sambil liat papan pesan. Di sana, pendapat para penyihir menara sihir lagi ditulis. “Tapi kudenger Ihelm pede banget. Dia ngajuin sekitar tiga atau empat saksi. Apa dia udah ngerahin semua koneksinya ke keluarga Kekaisaran?”
Epherene nggak nanggepin. “Menurutmu Deculein udah pasti ya? Dia cuma punya satu saksi, dan kayaknya dia nggak banyak ngomong sama siapa pun.”
“…”
“Jadi, kalo Deculein kalah, itu gara-gara kecerobohannya. Oh~, apa yang bakal kejadian besok ya? Aku penasaran.”
Epherene naro pulpennya terus natap Julia. “Julia.”
“Hah?”
“Aku nggak tertarik.”
“…Oh, i-iya.” Julia kaget sama penampilannya yang dingin dan beku luar biasa, naro semua yang lagi dia kerjain.
“…” Epherene ngelihat jam; udah jam 7 malem. Sidangnya besok, dan biarpun mereka nggak tahu bakal butuh berapa hari, persiapannya mulai hari ini.
“Aku pergi.”
“I-iya. Sampe ketemu besok!” Julia lambaikan tangan, nyoba baca ekspresinya, pas Epherene naik lift.
Bip- Pas dia masukin kartu yang dia terima dari Ihelm ke lift, tombol buat lantai khusus aktif. Tujuannya bukan lantai 1 maupun 77. Wuuung- Lift naik curam. Perubahan tekanan mendadak nutup telinganya, tapi dia nelen ludah buat ngelepasinnya.
Ding-! Lift berhenti, dan di balik pintu yang kebuka pelan, Ihelm muncul.
“Oh, kamu dateng.”
“…”
“Sayang banget ya. Sidang ini bakal lebih bagus kalo publik. Bukankah begitu?”
“Jangan salah paham.” Epherene natap dia. Dia belum makan apa-apa akhir-akhir ini, jadi tatapannya penuh racun sama kelaparan. “Aku nggak di pihakmu. Aku bisa nyerang kamu juga.”
“…Bener. Aku tahu.” Ihelm ngedikkin bahu pas ngejawab. “Situasi sama posisimu cuma nguntungin aku. Aku nggak mau lebih dari itu.”
“…”
“Kalo kamu ngerti, silakan tunggu. Ada ruang tunggu terpisah buat saksi. Lebih bagus dari hotel bintang 5. Aku bakal panggil kamu kalo waktunya pas, jadi istirahat aja.”
“Solda Epherene, tolong ikut saya.” Entah kepala pelayan atau sekretaris Ihelm, Epherene nggak yakin yang mana, nyamperin dia. Epherene ngelirik Ihelm sekali lagi sebelum ngikutin si orang itu.
“Tunggu di sini, tolong. Jadwal detailnya bakal diumumin nanti.” Dia duduk di ranjang terus natap kosong dinding. Tik-tok- Suara jarum detik kedengeran kosong. Tik-tok- Suara itu nyebar ke seluruh dirinya.
“…Susah napas.” Nggak tahan sama keheningan, Epherene ngeluarin koper tuanya yang udah usang, ngambil acak salah satu surat ayahnya.
“Ayah…” Dia merenungin tiap surat yang ayahnya tulis, pelan-pelan nenangin dirinya.
“…Apa ini hal yang bener buat dilakuin?”
Next
Tinggalkan Balasan